Meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan corona, Pendiri Microsoft, Bill Gates telah meramalkan munculnya wabah yang berasal dari hewan namun bermutasi menyerang manusia yang kelak akan menginfeksi ribuan bahkan jutaan manusia di dunia. Pandemi itu menurutnya akan membuat dunia lumpuh yang lebih parah dari bencana perang. Prediksi ini telah ia lontarkan pada tahun 2015 silam. Di samping memberikan warning, Gates juga memprediksi ketidaksiapan global dalam menghadapi pandemi tersebut.
Apa yang ingin saya gambarkan tentang informasi itu bahwa penyebaran covid-19 yang saat ini menghebohkan secara global harus dipahami sebagai bagian dari bencana yang bisa diprediksi dan ditanggulangi. Tidak ada tafsir lain yang boleh berkeliaran untuk mengatakan kejadian ini dalam perspektif lain yang tidak produktif semisal azab atau hukuman. Pemahaman ini penting agar memberikan wawasan ke depan untuk mengantisipasi dengan lebih baik dengan kesiapsiagaan yang memadai.
Bencana itu bisa karena perubahan iklim, peristiwa alam, atau buatan manusia (man-made). Namun, saya tidak ingin bermaksud berdebat apakah covid-19 sebagai peristiwa alam atau buatan manusia, tetapi hal penting yang harus dilakukan adalah respons, recovery dan mitigasi. Ketiga komponen inilah yang menuntut adanya kesiapan (preparedness).
Kenapa kesiapan itu penting dalam menghadapi bencana, karena kerentanan masyarakat diterpa bencana sangat dipengaruhi oleh kesiapan mereka dalam memaknai dan menghadapi bencana. Kesiapan itu tidak hanya persoalan rekayasa teknologi dan berbentuk aktifitas fisik, tetapi kesiapan juga berupa pemahaman dan respons produktif masyarakat dalam menghadapi bencana seperti covid-19 ini.
Kita melihat dalam menghadapi musibah pandemi covid-19 masyarakat belum sepenuhnya memiliki kesiapan yang memadai baik secara infrastruktur, teknologi maupun yang sangat penting pemahaman masyarakat. Pemahaman, pengetahuan dan pendidikan masyarakat ketika dan saat menghadapi bencana itu juga tidak kalah pentingnya daripada mengobati mereka yang terpapar virus corona.
Sebenarnya, dalam kasus pandemi kita melihat dua hal. Pertama, aspek kesehatan, kita melihat korban yang terpapar virus corona dan ditangapi secara medis. Kedua, pada aspek sosial kita melihat jutaan orang yang rentan terpapar dampak sosial dari corona. Dan itu lebih mengkhawatirkan bahkan bisa merusak perdamaian jika tidak ditangani secara serius. Ada penyakit panik, frustasi, provokasi, sentimentasi, dan mungkin anarki sebagai dampak sosial dari covid-19.
Kita menjadi kaget ketika covid-19 tidak hanya memunculkan penyakit fisik, tetapi penyakit sosial yang lebih akut. Penyakit fisik memang butuh penyembuhan segera, tetapi penyakit sosial itu muncul karena ketidaksiapan masyarakat dalam menghadapi musibah. Muncul secara liar berita bohong (hoax) yang mudah dipercaya di tengah kepanikan masyarakat. Muncul propaganda yang kadang berbau SARA dan Xenophobia dalam menghadapi musibah. Bahkan muncul upaya pengucilan dan memandang aib seseorang yang terkena virus ini. Dan tidak jarang juga kita melihat orang yang marah-marah ketika diperingatkan tentang protokol kesehatan di tengah pandemi.
Saya kira, Pekerjaan rumah bagi bangsa ini bukan sekedar merawat orang yang sudah sakit, tetapi juga menjaga imunitas fisik dan sosial mereka yang belum terpapar virus. Menjaga imunitas fisik saja tidak cukup, imunitas sosial penting dilakukan bersama-sama. Jika itu tidak dilakukan bukan tidak mungkin penyakit sosial dari ekses corona seperti hoax, provokasi, frustasi, dan sentimentasi sosial akan melahirkan anarki sosial yang bisa merusak perdamaian.
Pentingnya menjaga imunitas sosial itu tidak cukup di dunia nyata tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah di dunia maya. Ketika kebijakan physical distancing dan gerakan di rumah saja dilakukan, praktis cara masyarakat berinteraksi dan bersosialisasi masyarakat telah berubah dan banyak mengandalkan dunia maya. Di sinilah, kesehatan sosial di dunia maya juga penting untuk menjaga daya imun masyarakat di dunia maya yang di tengah pandemi dihujani dan bahkan dibanjiri dengan informasi.
Masyarakat di tengah pandemi sudah sangat sulit membedakan informasi di dunia maya mana yang fakta dan fiksi, mana kebenaran dan kebohongan, mana berita dari sumber terpercaya dan media abal-abal. Di saat kondisi panik apapun berita bukan dilihat dari aspek kebenarannya, tetapi lebih pada aspek pembenaran. Dan kondisi seperti ini merupakan tantangan yang harus dibenahi di tengah pandemi.
Membangun Imunitas di Dunia Maya untuk Perdamaian di Bulan Suci
Dalam konteks melawan pandemi covid-19 ini skema besar yang patut kita lakukan bersama. Beberapa hal ini menurut saya penting sebagai kesiapan kita dalam menghadapi berbagai musibah yang mungkin tidak akan pernah berhenti di masa depan.
Pertama, edukasi. Poin ini menjadi sangat penting sebagai peningkatan daya tahan sosial masyarakat di tengah pandemi. Memberikan edukasi tentang virus, sosialisasi protokol kesehatan, dan potensi kerentanan di masing-masing lingkungan sosial menjadi tugas bersama tidak hanya institusi pemerintah tetapi harus menjadi gerakan bersama masyarakat dalam mengedukasi sesama. Terutama di tengah pandemi yang menjaga interaksi edukasi harus banyak dilakukan dengan pendekatan digital informasi.
Kedua, literasi. Poin ini lebih menitikberatkan pada kemampuan masyarakat dalam mencerna informasi terkait isu covid-19. Banyak sekali informasi covid-19 yang memiliki dimensi yang beragam dari kesehatan hingga persoalan keagamaan. Butuh gerakan literasi masyarakat untuk memfilter, menyaring dan memilah informasi dan provokasi.
Ketiga, empati. Poin ini ingin menegaskan bahwa di tengah pandemic jaga jarak tidak boleh membatasi emosi dan kepedulian. Justru di tengah pandemic simpati, empati dan solidaritas harus lebih ditingkatkan.
Ketiga poin di atas: edukasi, literasi dan empati adalah sebenarnya merupakan semangat Ramadhan sebagai bulan suci. Ramadhan memberikan edukasi bagi semua orang untuk menahan emosi. Ramadhan pula memberikan literasi penting agar ketika informasi apapun kita harus berhati-hati. Dan Ramadhan paling penting adalah mendidik jiwa penuh empati dan peduli.
Karena itulah bulan suci di tenga pandemi ini sejatinya momentum bagi kita semua untuk mengaktualisasikan edukasi, literasi dan empati sebagai modal kesiapan kita dalam menghadapi covid-19. Dan kunci keberhasilan dalam menghadapi itu adalah kebersamaan dengan membangun jejaring baik di dunia maya maupun di dunia nyata.
Mari membangun jejaring perdamain di tengah pandemi.
Terima kasih.
Abd. Malik
(Pimred Pusat Media Damai-BNPT)