free page hit counter
Blogging Should Be Fun !

Infiltrasi Ideologi Mewaspadai Transnasional,Membendung Ancaman Politisasi Agama

Baru-baru kita kita dikejutkan dengan munculnya gerakan ideologi baru yang disebut “ideologi transnasional” sebagai manifesto gerakan dari Timur Tengah yang hendak melumat ideologi pancasila yang sudah final. Ideologi baru tersebut menghendaki sebuah perubahan revolusioner dan radikal guna memantapkan dasar negara yang dinilai timpang dalam mengayomi dakwah keislaman.

Sebagai sebuah tatanan baru dalam ranah ideologi politik, ideologi transnasional juga hendak mengusung gerakan keagamaan yang masuk pada dimensi kultural dan struktural. Dengan kata lain, ideologi transnasional mengacu pada politik lintas sektoral yang berasal dari dunia ketimuran. Ideologi ini memungkinkan bangsa kita terjebak pada pragmatisme faham dan sindroma kekuasaan yang melabelkan agama sebagai Gerakan manifesto.

Sebagai bangsa yang berdaulat kita patut mewaspadai Gerakan politik bertemakan trannasional yang dinilai timpang dalam memproyeksikan Gerakan keagamaan sehingga secara perlahan masuk pada politik praktis. Munculnya organisasi kenasyarakatan maupun partai politik yang melandasakan pada ideologi keislaman juga tidak luput dari bayang-bayang ideologi transnasional yang seolah-olah menjadi pijakan dalam setiap aksinya di lapangan.

Tidak hanya satu saja ideologi transnasional dianggap akan mengancam eksistensi kedaulatan bangsa yan telah menjadikan Pancasila sebagai falsafah negara. Suatu hal yang naif, bila ideolgi Pancasila tergantikan oleh  idoelogi transnasional yang tidak memiliki akar budaya dengan nilai-nilai keislaman.

Perlu digaris bawahi bahwa ideologi keagamaan tidak semuanya memiliki akar budaya yang sama dengan kita, karena dibalik munculnya ideologi tersebut pasti menyimpan orientasi dan kepengtingan lain yang hendak dijalankan. Pada awalnya memang terkesan mengayomi dan memberikan jamina kedamaian bagi tatanan baru bangsa kita, namun setelah cita-cita untuk membumikan ideologi baru tercapai, mereka terkesan balik arah dan mengalihkan  orientasinya pada ranah kekuasaan dan kepentingan pragmatis semata.

Itulah potret dan cerminan ideologi baru yang diwaspadai oleh setiap elemen bangsa, terutama bagi umat islam yang mudah dikibuli oleh kepentingan politik terntu menyesatkan mengurai konsepsi idoelogi setiap setiap organisasi kemasyarakatan maupun keagaman tidak bisa lepas dari motif ideologi yang menjadi instrument Gerakan guna mencapai cita-cita yang hendak dijalankan. Ideologi adalah otak dibalik lahirnya organisasi maupun komunitas tertentu yang bergerak di berbagai bidang termasuk politik, agama, ekonomi, sosial budaya, maupun Pendidikan.

Dalam kerangka teori yang umum ideologi  dirancang sebagai kumpulan dan kepercayaan yan di produksi dan sebarluaskan oleh agen- agen negara yang diarahkan untuk mengembangkan tatanan sosial dengan jalan melestarikan ketaatan setiap indvidi pada ideologi tersebut. Yang kentara di bidang politik menjadi platform paling depan dalam mengusung ideologi yang berbasis kultural.

Dengan kata lain setiap Gerakan politik yang muncul selalu diwarnai oleh kesan fragmentasi yang mengajak masyarakat untuk terlibat langsung dalam bingkai kekuasaan maupu secara fungsional. Disadari atau tidak, platform politik telah membawa kebijakan tertentu untuk melegalkan kekuasaan demi kepentingan sesaat sehingga orietasi utama kepentingan masyarakat kerapkali terabaikan.

Kita bisa mencermati dengan seksama, bahwa politik berdasarkan pada idoelogi islam ini hadir di tengah pergumulan yang keras dengan muculnya ideolgi-ideologi yang lain. Pertama nasionalisme kultural Jawa yang dimotori oleh para bangsawan tinggi dan para teosof Belanda. Kedua, Sosialisme Marxis yang kemudian menjelma menjadi paham komunisme. Ketiga nasionalisme sekuler yang menciptakan batas dan dafinisi mengenai Indonesia  itu sendiri.

Jika kita telisik secara lebih kedalamm, maka idoelogi politik islam pun merupakan hasil dari pandangan hidup, sehingga idoelogi politik islam pun merupakan hasil “subjektif” dari pandangan komunis terhadap teks keagamaan kita bisa mencocokan platform idoelogi keislaman bukan keislaman, bukan kebangsaan. Dalam ruanng politik semisal PKS bisa menjadi partai ideologi keislaman bukang kebanngsaan dalam ruang lingkup politik PKS yang menjadi partai dengan idoelogi bukan kebangsaan.

Dalam ruang politik, PKS bermain cantik dengan munculnya isu-isu nasional yang nerupakan akar masalah bangsa ketimbang isu-isu keagamaan yang bersifat partisan semisal formasinya syariat islam. Kita bisa meceramati bahwa menyerukan formalitas syariat Islam dala bentuk negara Islam. Kita bisa mencermati bahwa Gerakan PKS sangat diperhitungkan, karena efektifitas rekrutment pengikutnya menggunakan system Multilevel marketing dengan pembentukan kaderisasi yang sulit ditiru oleh organisasi yang lain.

Mengingat gencarnya gerakan politik yang bernuansa keislaman, maka segenap elemen bangsa perlu memantapkan kembali ideologi pancasila sebagai pedoman utama. Gerakan politik yang berlabel agama bisa menghancurkan tatanan nilai-nilai kebangsaan dan keislaman yang terbingkai dalam ajaran kenabian. Pendek kata, tatanan nilai-nilai kebangsaan dan keislaman merupakan ruh dan jiwa bagi tegaknya gerakan dakwah yang mengusung kedamaian dan keselarasan bagi setiap ummat di dunia ini.

Oleh karena itu, gerakan politik yang berupaya mencampuradukkan atau menyulut api kemarahan ummat Islam harus dipandang sebagai sebagai “kejahatan ideologi” yang hendak merusakan pola pikir dan paradigma masyarakat kita yang mudah terbuai oleh iming-iming kapitalisme global. Tidak berlebihan, bila gerakan politik transnasional telah membuat NKRI menjadi tempat “bal-balan” (main bola) pihak asing yang menghasilkan konflik lintas agama,interen Islam dan separatisme dan lain-lain di Indonesia.

Dengan pemantapan ideologi pancasila sebagai falsafah negara, kita bisa menangkis dan membendung menjamurnya berbagai macam ideologi yang berusaha merusak tatanan ideologi kita yang sudah final dan diakui sebagai landasan hidup bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika ada sekolompok masyarakat yang tidak menginginkan pancasila sebagai ideologi negara, berarti mereka dianggap sebagai pemberontak yang harus ditumpas dan sebisa mungkin dicegah penyebaran ideologi tersebut.

Kita memang perlu mengembangkan sikap keseimbangan dalam merajut hubungan harmonis antara agama dan negara, karena keduanya merupakan perpaduan yang tidak bisa dipisahkan. Akan tetapi, hubungan yang harmonis ini bisa merusak, jika agama terlalu jauh dari wilayah agama atau sebaliknya agama terlalu dalam memasuki wilayah negara.

Apa yang dikenal di Barat dengan istilah civil religion barangkali sangat tepat dijadikan inspirasi bagi masa depan bangsa Indonesia. Dengan kata lain, sesungguhnya ideologi pancasila telah memenuhi syarat untuk tampil sebagai civil religion yang mampu menyatukan keragaman agama dan budaya.

Kita tidak bisa membayangkan bahwa ideologi bisa di ekspor melalui berbagai macam jalur, dari mulai yang radikal ataupun moderat. Radikal-bisa melalui teror, serangan militer, embargo, moderat (halus) bisa berupa promosi media massa, buku-buku dan propaganda. Dalam skala global.

Kalau kita cermati, betapa menonjolnya penguasa dan politisi negeri ini yang mengamalkan gagasan-gagasan Machiavelli. Pertama, dalam rangka meraih kekuasaan. Machiavelli mengajarkan bahwa seseorang yang ingin meraih kekuasaan (tujuan), cara apapun bisa digunakan (the ends justify the means). Ia bisa menarik minat dan kepercayaan dari masyarakat dalam rangka memperoleh kekuasaan yang didambakan.

Kedua, dalam rangka mempertahankan kekuasaan. Machiavelli mengajarkan bahwa seorang politisi harus memiliki dua sifat, yaitu sifat manusia– tulus, penyayang, baik, pemurah– tetapi juga memiliki sifat-sifat binatang atau sifat tidak terpuji, jahat, kikir, licik, bengis dan kejam. Ketiga, pemisahan agama dari kekuasaan. Machiavelli tidak anti agama. Ia malah menyarankan agar setiap penguasa mempertahankan dan memelihara ritual ibadah keagamaan dan senantiasa melaksanakannya sebaik-baiknya.

Dengan cara itu, tambahnya, republik akan terbebas dari kebobrokan (korup), menumbuhkan harapan dan semangat rakyat, Mengendalikan tentaran, menghasilkan orang-orang baik dan menjaga persatuan. Sudah saatnya kita sadar, bahwa nafsu kekuasaan dengan memakai jargon agama, pada gilirannya akan mengancam nilai-nilai kemanusiaan yang diusung konsepsi agama.

Dalam konteks ini,  kembali kepada Islam, bukan berarti hanya menjadikan agama (Islam) sebagai alat meraih kekuasaan, bukan pula menggunakan agama hanya sebagai jaminan dan sumber kepatuhan warga negara, moralitas kolektif, dan kebajikan. Cara pandang seperti ini adalah cara pandang Machiavellis. Dalam konteks inilah, kita harus faham bahwa konsepsi tentang agama dan kekuasaan sangat penting disuarakan.

Menurut Robert N. Bellah (2003), agama, pada satu sisi, mungkin mengklaim berasal dari kekuasaan yang melebihi seluruh kekuatan di dunia ini. Namun, di sisi lain, kekuasaan mungkin berarti lebih dari pada sebuah seni pragmatis untuk mencapai tujuan tertentu dan agama membatasi dirinya pada masalah-masalah ”spiritual”.

Pada masyarakat beragama, politik seringkali dijadikan lompatan utama untuk mencapai tujuan tertentu. Tidak mengherankan, apabila kecendrungan politisi yang masih menganut konsep agama, masih terus menghiasi dinamika kekuasaan di negeri ini. Tidak tanggung-tanggung, mereka memposiskan agama sebagai manuver utama untuk manarik simpati dan kepercayaan dari masyarakat. Kecendrungan penguasa atau politisi di negeri ini, semakin memporak-porandakan konsep kemurnian agama yang dijadikan alat dan tujuan untuk mencapai keinginan sesaat. Bahkan, agama ditempatkan sebagai sentrum pendulang suara melalui kesan fragmentasi yang utopis.

Suatu hal yang naif, apabila nilai substansi agama dipolitisasi dalam berbagai bentuk. Padahal, kita tahu bahwa agama adalah sesuatu yang ”suci” dan memiliki peranan penting dalam perubahan sosial. Namun, pada kenyataannya agama menjadi “alat” dari pada kekuasaan untuk membangun kekuatan. Agama dijadikan ”alat” pembenaran, penguat, pengesahan dan sebagainya, sehingga kekuasaan mendapat pembenaran. Konsep seperti ini, sering dinamakan dengan ”politisasi agama”.

Dimana agama dipolitisasi atau dijadikan ”tumbal” oleh kekuasaan. Dalam konteks inilah, kita harus percaya bahwa elite-elite agama menjadi ”kaki tangan” kekuasaan untuk melegalkan keinginan dari pada kekuasaan. Hasan Hanafi (2003), sehubungan dengan ini, menyebutkan bahwa dalam satu negara setidaknya telah terjadi dua tradisi, yaitu tradisi kekuasaan dan tradisi oposisi. Tradisi kekuasaan inilah yang dominan menjadikan agama sebagai “alat”.

Sekelumit tentang ancaman ideologi transnasional yang mengakar kuat di kalangan masyarakat, maka segenep elemen bangsa memiliki tanggung jawab untuk mengawasi gerakan ideologi tersebut yang dianggap mengancam eksistensi ideologi pancasila. Sudah saatnya, kita perlu menanamkan benih-benih ideologi pancasila kepada generasi muda yang akan menjadi penerus bangsa ini ke depan agar dijaga dan dipertahankan sebagai sebuah pandangan hidup yang mulia.

Sudah saatnya pula, kita bersatu dan berkomitmen untuk menjadikan pancasila sebagai falsafah tunggal yang melandasi semua cara pandang masyarakat tanpa harus menoleh terhadap munculnya ideologi baru yang seolah-olah memberikan jaminan ideal dan pencerahan. Celakanya, ideologi transnasional itu bersifat destruktif dan seringkali membuat tindakan anarkis demi mencapai tujuan tertentu.

Dengan makin derasnya arus komunikasi global maka ideologi transnasional (ideologi lintas bangsa) makin mudah masuk ke Indonesia. Oleh karena itu, kita pun patut memantapkan ideologi pancasila sebagai asas tunggal yang tidak bisa diintervensi oleh platform ideologi mana pun, apalagi ideologi transnasional.

*Mustamin

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

RECENT POSTS
ADVERTISEMENT
Our gallery