free page hit counter
Blogging Should Be Fun !

Tradisi Nenjrag Bumi dan Turun Taneuh Dalam Budaya Sunda

Indonesia merupakan negara kepulauan, yang mana luas wilayah yang membentang dari Pulau Sabang hingga Merauke memiliki luas 1,905 juta km². Indonesia memiliki 34 provinsi, termasuk di dalamnya menghimpun berbagai etnis suku yang beragam. Fakta tersebut semakin diperjelas oleh pernyataan IDN Times pada laman idntimes.com yang menempatkan Indonesia pada posisi ketiga dengan nominasi negara dengan jumlah etnis terbanyak di dunia, setelah negara India pada posisi pertama, dan Papua Nugini yang menempatkan posisi kedua.

Kemudian, dilansir dari Indonesia.go.id, saat ini di Indonesia terdapat lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa. Suku dengan populasi terbanyak adalah suku jawa yang berjumlah 41% dari total populasi Indonesia. Pernyataan kian memperjelas kekayaan ragam budaya Indonesia datang dari Ethnologue Language of the World, yang merilis jika jumlah bahasa yang dimiliki Indonesia adalah sebanyak 710 bahasa.

Serangkaian fakta tersebut membentuk pola perilaku dan adat istiadat kebudayaan yang berbeda-beda. Pada akhirnya menjadi sebuah tradisi dan kearifan lokal yang turun temurun dan menjadi lekat dengan kehidupan masyarakat. Teezzi, Marchettini, dan Rosini dalam laman dosenpendidikan.co.id mengatakan bahwa kearifan lokal dapat ditemui dalam nyanyian, pepatah, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, tradisi yang menjadi kearifan lokal sering kali berbentuk sebuah upacara adat.

Pada etnik sunda yang berada di Provinsi Jawa Barat, terdapat dua tradisi yang saat ini menjadi ciri khas dan kearifan lokal bagi masyarakat sunda, dan menjadi bagian dari budaya sunda. Kedua tradisi tersebut merupakan dua diantara sekian banyak tradisi sunda, yang obyeknya adalah bayi, yakni, tradisi Nenjrag Bumi dan tradisi Turun Taneuh.

Dilansir dari situs budaya-indonesia.org, Nenjrag Bumi merupakan salah satu ritual upacara adat khas sunda yang berasal dari Bandung, yang dilakukan kepada anak bayi berusia 2–3 minggu. Upacara ini mengandung makna, berharap dan mendoakan agar kedepannya sang anak tidak tumbuh menjadi pribadi yang penakut dan mudah kaget.

Nenjrag bumi dilakukan dengan cara meletakkan sang bayi pada pelupuh (tempat duduk yang terbuat dari bambu yang dibelah-belah menjadi bagian-bagian kecil), lalu kemudian sang ibu akan menghentakkan kakinya ke pelupuh tersebut. Cara lain dari proses tradisi ini yang dilansir dari laman anekabudaya.xyz ialah dengan memukulkan palu sebanyak tujuh kali ke tanah, di dekat sang bayi. Kemudian, sang ibu juga akan mengentakkan kakinya ke tanah sebanyak tiga kali. Tradisi ini bertujuan agar kelak sang bayi tumbuh menjadi anak yang dapat menaklukan kerasnya kehidupan dunia.

Selanjutnya, setelah tradisi Nenjrag Bumi yang dilakukan pada bayi berusia 2–3 minggu, terdapat upacara tradisi Turun Taneuh yang dilakukan pada bayi usia hitungan ke 7–8 bulan, atau bayi yang sudah bisa merangkak. Dalam kebudayaan Jawa, tradisi Turun Taneuh dikenal dengan sebutan Tedak Sinten. Artinya ada kemiripan tradisi antara Jawa dan Sunda, hanya penyebutannya saja yang berbeda. Bagi para leluhur, adat budaya ini dilaksanakan sebagai bentuk penghormatan kepada bumi tempat anak mulai belajar menginjakkan kakinya ke tanah.

Dikutip dari om.id.theasianparent.com, rangkaian acara Turun Taneuh dimulai dengan disuguhkan beragam masakan tradisional yang terbuat dari beras ketan yang dicampur dengan berbagai warna hingga menghasilkan tujuh buah warna berbeda yang nanti akan di injak oleh sang bayi. Makanan tersebut menjadi simbol kehidupan sang anak, sedangkan warna-warni tersebut menggambarkan jalan hidup yang harus dilalui si bayi kelak.

Tradisi Turun Taneuh sarat akan makna. Menurut kepercayaan orang-orang terdahulu, melalui tradisi ini masa depan anak dapat diprediksi. Sang bayi akan diberikan berbagai benda di hadapannya seperti emas, uang, dan lain sebagainya. Diantara filosofinya ialah; jika sang anak mengambil uang maka kelak ia akan menjadi saudagar atau pengusaha. Kemudian jika sang anak memilih untuk mengambil emas, maka kelak anak tersebut akan menjadi orang yang berpangkat dan memiliki kedudukan.

Tradisi tersebut merupakan adat istiadat yang keberadaannya hasil warisan turun temurun orang Sunda. Dipercaya atau tidak, tradisi tersebut tetap akan menjadi kearifan lokal dan budaya yang harus selalu diingat dan dijaga. Jangan sampai peradaban zaman yang kian berkembang akan melunturkan kekayaan budaya yang dimiliki oleh Indonesia.

*Asri Syafitri

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

RECENT POSTS
ADVERTISEMENT
Our gallery