Tiga belas bulan berlalu sejak virus SARS-CoV-2 hadir di Wuhan, China. Kini populasi kasus telah mencapai 96,2 jt per (21/01/2021). Virus yang semula hanya symptomps endemic yang diduga tidak akan menyebar, nyatanya muncul ke permukaan dan merubah ritme kehidupan masyarakat dunia.
Fenomena ini disebut dengan fenomena Black Swan, yakni merujuk pada peristiwa langka yang berdampak besar, sulit diprediksi dan di luar perkiraan biasa. Teori ini dideskripsikan oleh Nasim Nicholas Thaleb dalam bukunya The Black Swan tahun 2007.
Namun bukan fenomena ini lagi yang menjadi titik fokus dunia, melainkan penanganan dan upaya untuk bangkit kembali. kembali mengolah imunitas dan meningkatkan fasilitas kesehatan, kembali memulihkan pembangunan ekonomi, dan kembali menjalani kehidupan masyarakat dengan berbagai perubahan, khususnya pada implementasi protokol kesehatan.
Selama dua belas bulan lamanya masyarakat dibuat pasrah akan statement no medicine for this virus, kini mendapat harapan baru. Setelah melewati perjalanan panjang, vaksin yang semula hanya bisa dirasakan oleh masyarakat negara adidaya sekaliber USA, Rusia dan lainnya, akhirnya dapat dirasakan masyarakat Indonesia.
Meski sudah menuju titik terang, penanganan pandemi COVID-19 pun menghadapi sejumlah tantangan, salah satunya, beredarnya informasi bohong atau hoax mengenai vaksin yang menjadikan berkurangnya kredibilitas pemerintah terhadap masyarakat.
Beredarnya informasi hoax, oleh portal berita unkredibel bahkan oleh akun-akun anonim faktanya, dapat menjadikan masyarakat skeptis akan setiap kebijakan yang diambil pemerintah.
Staf Khusus bidang Hukum Menteri Komunikasi dan Informatika, Henri Subiakto mengatakan masifnya informasi bohong tentang COVID-19 bukan hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di dunia. Henri menerangkan selama pandemi COVID-19 di Indonesia banyak peristiwa terjadi karena penyebaran informasi yang bohong. Masyarakat, menurutnya, banyak yang tidak percaya dengan dokter dan rumah sakit yang memvonis keluarganya positif COVID-19 juga terhadap kehadiran vaksin yang katanya bagian dari ‘bisnis pemerintah”
Tidak hanya itu polusi informasi yang beredar di Internet dan sosial media menstimulus masyarakat untuk acuh akan protokol yang berlaku. Sosial media menjadi pusat gravitasi, dimana apa yang tengah trend, dan hangat dibicarakan secara masif diikuti masyarakat.
Ramainya influencer yang secara gamblang menjalani new normal dengan berwisata ke Bali atau tidak mentaati protokol kesehatan, dengan berkumpul, menggelar pesta, hingga tidak menggunakan masker sebagai first protection, membentuk asumsi di masyarakat bahwa ‘COVID-19 tidak seberbahaya itu,”. Mirisnya, tindakan ignorant inilah yang menyumbangakan jumlah kasus COVID-19 di Indonesia tumbuh dengan pesat.
Hal ini pada dasarnya adalah argumentum ad populum atau sering juga disebut bandwagon fallacy, sebuah sesat pikir bahwa apa pun yang diikuti oleh banyak orang adalah benar.
Tidak hanya imunitas tubuh, imunitas informasi masyarakat juga nampaknya perlu ditingkatkan, agar masyarakat tidak menelan mentah-mentah setiap informasi yang beredar di Internet, tidak mudah terpengaruh narasi kontradiktif, mampu membatasi informasi yang sumbang dan juga bisa membagikan informasi valid dan positif, sehingga tidak terjadi lagi sesat pikir.
Oleh karena itu, Henry menyebutkan bahwa literasi media sangat penting dikuasai oleh seluruh lapisan masyarakat di tanah air tanpa terkecuali. Tujuannya tidak lain sebagai pembekalan agar mampu mencerna informasi mana saja yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Sehingga tidak sampai tertipu-daya oleh serangan hoax yang masih masif beredar terutama di media sosial.
Hal sederhana yang dapat dilakukan masyarakat untuk menghindari hoax adalah “Saring before sharing”, yakni dengan mencari sumber berita di platform kredibel dan mencari tahu lewat sumber ahli atau terpercaya. Masyarakat dapat membandingkan informasi yang diterima di grupWhatsaap keluarga dengan mencari keyword yang sama di halaman pencarian. Bila informasi yang diterima nyatanya juga diberitakan oleh media mainstream yang kredibel, maka informasi ini layak untuk dikonsumsi atau dibagikan, sebaliknya apabila informasi yang diterima ternyata hoax atau menyerukan narasi radikal, maka baiknya berita ini tidak dibagikan dan memberikan edukasi yang baik kepada peserta grup, agar informasi ini tidak mebentukmata rantai di masyarakat.
*Dyah Tribuwana