By Al Mahfud
jalandamai.org
Hoax telah menjadi musuh bersama. Daya rusak hoax menembus benteng-benteng persaudaraan dan persaudaraan yang selama ini kita bina bersama. Kebohongan dan kesesatan informasi dalam hoax menumbuhkan kebencian, mendorong orang-orang saling bermusuhan, mencaci, dan bahkan memfitnah. Dari sana, orang seakan tak lagi mengenal persaudaraan dan penghormatan pada sesama. Etika dan adab berkomunikasi seperti lenyap entah kemana.
Hoax semakin membahayakan karena ia tak sekadar tentang informasi yang keliru. Seperti dikatakan Craig Silverman dalam tulisan berjudul Lies, Damn Lies and Viral Content, sebagaimana dikutip Muhammad Yunus (2019), hoax didefinisikan sebagai rangkaian informasi yang memang sengaja disesatkan, namun dijual sebagai kebenaran. Informasi yang “sengaja” disesatkan mengindikasikan hoax jauh lebih membahayakan daripada sekadar informasi yang salah. Sebab di dalamnya (hoax) memang ada upaya-upaya terencana yang memanfaatkan kebohongan demi tujuan tertentu.
Efek merebaknya hoax tak berhenti pada membuat seseorang berprasangka atau membenci orang, kelompok, atau pihak tertentu. Kekhawatiran dan kebencian yang bercokol dalam diri seseorang kemudian mendorongnya membagikan pada orang lain secara luas. Tak ayal jika kemudian banyak masyarakat merasa terganggu dengan menyebarnya hoax.
Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) telah merilis survei pada 2017 mengenai dampak penyebaran berita palsu atau hoax dan memberi kita gambaran bahwa 84,5% dari responden menyatakan tertanggu dengan berita hoax. Survei Mastel juga menemukan bahwa mayoritas hoax didominasi hal-hal yang berkaitan dengan sosial politik dan SARA, hingga mencapai angka 91,80% (detik.com, 13/2/2017).
Kita tahu bahwa isu politik dan SARA menjadi isu yang gampang memantik perselisihan, perdebatan, dan bahkan pertikaian antar orang atau kelompok masyarakat. Politik dan SARA menjadi hal yang begitu mudah menyentuh emosi masyarakat, sehingga memiliki dampak yang luas dan kompleks. Jelas membahayakan jika isu-isu tersebut dijadikan bahan hoax. Orang akan gampang saling curiga dan membenci orang lain yang berbeda, baik berbeda secara politik, primordial (SARA), atau keduanya.
Jika sudah demikian, masyarakat seakan tak lagi merasa aman dan tentram. Sebab bangunan-bangunan persaudaraan bangsa akan goyah. Sendi-sendi kebersamaan kemanusiaan yang selama ini kokoh oleh persaudaraan, toleransi, dan sikap saling mengasihi, bisa dengan cepat mengikis dan bahkan roboh. Orang tak lagi memiliki rasa persaudaraan terhadap sesama sehingga gampang melancarkan permusuhan dan kebencian. Jelas, ini bukan situasi yang kita harapkan.
Sejak belia
Bahaya hoax tak sekadar mengancam orang dewasa. Ia menghantui kita semua, terutama lewat saluran-saluran online seperti media sosial. Maka, anak dan remaja menjadi generasi yang tak luput dari bahaya hoax. Terlebih, anak dan remaja masa kini sudah akrab dengan perangkat digital, bahkan sudah biasa mengakses berbagai informasi secara online. Maka, menjadi tugas kita bersama membentengi anak dan remaja dari bahaya konten-konten negatif, termasuk hoax.
Menumbuhkan sikap kritis pada anak dan remaja dalam mengkonsumsi dan mencerna informasi, pertama-tama mesti ditanamkan secara mendasar oleh orangtua di lingkungan keluarga. Orangtua mesti membimbing anak-anaknya dalam mengakses informasi. Sierra Filucci, editor parenting pada Common Sense, juga jurnalis lulusan University of California dengan fokus riset pada pop culture dan anak-anak, menjelaskan perihal pertanyaan-pertanyaan kritis yang perlu disampaikan orangtua kepada anak-anaknya dalam rangka meminimalisir hoax pada anak-anak.
Filucci menjelaskan, anak-anak butuh ditegaskan lagi soal siapa yang membuat berita yang mereka baca, siapa yang menjadi target pembacanya, bahkan siapa yang dibayar dan diuntungkan atas berita tersebut. Yang juga sangat penting, anak-anak mesti diberi pemahaman tentang pesan apa saja yang terkandung dalam berita yang ia baca, apakah penting, menguntungkan, atau sebaliknya (tirto.id, 1/10/2017).
Di samping memberi penjelasan dan bimbingan pada anak, orangtua sudah seharusnya juga menunjukkan teladan tentang bagaimana memanfaatkan dan mengkonsumsi informasi online secara kritis dan bijaksana. Sebab kita tahu, apa yang ditunjukkan orangtua akan mudah ditiru anaknya. Bagaimana cara orangtua mengakses informasi digital, memahami dan mencernanya, kemudian memanfaatkannya (literasi digital), akan sangat berpengaruh besar terhadap anak-anak mereka pula.
Jangan sampai orangtua justru menunjukkan hal-hal yang bertolakbelakang dengan upaya menangkal hoax tersebut. Misalnya, menunjukkan kekhawatiran berlebih setiap membaca berita, terlalu mudah menyebar informasi provokatif yang menimbulkan ketakutan dan kebencian, dan sebagainya. Orangtua mesti bisa berperan sebagai pendamping sekaligus pendidik anak-anak dalam upaya menangkal bahaya hoax dan berbagai bentuk konten negatif di dunia maya.
Menjaga anak-anak dari bahaya hoax adalah upaya penting untuk melahirkan generasi cerdas yang bisa mencerna informasi secara kritis dan bijaksana. Ini menjadi semakin penting mengingat era digital dan media sosial sekarang yang sudah menjadi keniscayaan bagi kalangan anak muda. Berbagai aktivitas anak-anak kita dalam kehidupan hari ini dan ke depan, juga akan semakin banyak dan intens memanfaatkan internet. Jadi, membekali anak-anak kita dengan sikap kritis dalam mencerna informasi sudah menjadi kebutuhan pokok yang harus dipenuhi.
Mengajari sikap kritis anak-anak tak sekadar penting bagi diri mereka sendiri. Hal tersebut merupakan langkah strategis untuk menciptakan generasi masa depan bangsa yang memiliki kesadaran akan bahaya kebencian, permusuhan, dan sikap-sikap intoleran. Dengan kata lain, betapa pentingnya kasih sayang, persaudaraan, dan toleransi atau penghormatan terhadap perbedaan. Ini menjadi bagian tak terpisahkan dalam rangka menjaga persaudaraan dan persatuan bangsa.