jalandamai.org
Di era digital yang mengarus-utamakan pada kecepatan dan kemudahan menjadikan media sosial kebanjiran informasi. Hal ini disatu sisi sangat menguntungkan, membuat masyarakat digital dapat dengan mudah mengakses informasi dan mempunyai banyak pilihan alternatif terhadap informasi. Namun disisi lain menimbulkan problema yang serius salah satunya infomasi tak lagi berpijak pada kebenaran seperti kaidah jurnalisme.
Informasi yang tumpah ruah dan berseliweran menjadikan sebuah informasi tak lagi dengan mudah diketahui kebenarannya. Sebab yang ditekankan adalah secepat apa informasi dibagikan dan sejauh mana atau seluas mana cakupan informasi tersebut. Dan sejauh mana informasi tersebut dapat mempengahruhi emosi penerima. Inilah yang kemudian disebut Post Truth Era, dimana fakta seringkali dikesampingkan, sehingga antara fakta dan opini sering bercampur aduk.
Kondisi bermedia sosial yang demikian menjadikan masyarakat maya (pengguna media sosial) terjebak dan menjadi bingung, sebab tidak dapat membedakan mana informasi yang fakta mana yang manipulasi, mana yang jujur mana yang bohong. Akhirnya sebagian besar masyarakat maya cenderung memilih informasi yang disukainya saja, tanpa memperdulikan benar tidaknya. Miris bukan tapi inilah fakta Post Truth Era.
Kenyataan yang demikian menjadi ladang bagi tumbuh subur dan berkembangnya hoax. Dan parahnya dimanfaatkan oleh segelintir individidu/kelompok untuk mensukseskan ambisinya. Hoax dibuat, disebar secara berulang-ulang di media sosial dengan tujuan agar mempengaruhi persepsi sehingga masyarakat maya menerima informasi tersebut sebagai sebuah kebenaran. Konsep penyebarannya persis seperti teori propaganda Paul Joseph Goebbels yang dikenal dengan teori propaganda “The Big Lie” yang intinya “menyebarluaskan kebohongan sebanyak dan seserig mungkin dengan media massa sampai kebohongan tersebut dianggap sebagai kebenaran”.
Nah, untuk agar masyarakat percaya, penyebaran hoax seringkali memainkan isu-isu sensitif dalam masyarakat utamanya isu politik dan SARA. Dalam konteks ini yang terjadi masyarakat menjadi saling berebut kebenaran. Kemudian yang terjadi masyarakat saling bertengkar, curiga-mencurigai pada akhirnya tercerai-berai karena sebuah informasi yang dipersepsi benar.
Sangat miris sampai persatuan suatu bangsa yang dipertaruhkan. Mungkin dampak perpecahannya kini belum terlihat dan terkesan biasa-biasa saja tetapi kedepan anak cucu generasi penerus bangsalah yang akan merasakan, benar-benar merasakan dampaknya. Karena itu sebelum perpecahan semakin menjadi-jadi diperlukan sikap perlawanan yang jelas terhadap informasi hoax, tidak muluk-muluk bisa dimulai dari diri sendiri, salah satunya membentengi diri dengan membaca informasi dengan kesadaran kritis.
Membaca dengan kesadaran kritis kunci perangi hoax
Dalam survey mastel (2017) mengungkapkan sebanyak 92.40% menerima hoax dari media sosial dan 62.10% berupa tulisan serta 44.30% mengaku menerima hoax setiap hari. Dari survey Daily Social (2018) juga didapatkan hasil yang hampir sama yakni media sosial mendominasi penyebaran hoax, berturut-turut Facebook (82,25%), WhatsApp (56,55%), dan Instagram (29,48%) menjadi platform dimana hoax sering ditemukan. Dan parahnya sebanyak 44,19% responden tidak yakin memiliki kepiawaian dalam mendeteksi berita hoax.
Dari penjelasan dan survey diatas dapat diambil benang merah bahwa hoax telah menjadi virus bagi masyarakat maya dimana hoax disebarluaskan setiap hari, diulang-ulang, dan disebarkan menggunakan beragam bentuk baik tulisan, video maupun gambar namun yang terbanyak adalah tulisan. Dan dari masyarakat maya mengalami kondisi tidak percaya diri, merasa tidak bisa mendeteksi hoax. ketidakpercayaan ini disebabkan salah satunya karena lemahnya tingkat literasi dalam masyarakat kita. Untuk itu perlu langkah taktis agar mengembalikan kepercayaan diri bahwa kita mampu dan bisa mendeteksi hoax dengan cara-cara sederhana dan gampang dilakukan salahsatunya membaca secara kritis atau membaca dengan kesadaran kritis.
Mengapa membaca perlu dengan kesadaran kritis? Hoax punya daya pikat yang kuat dengan mempengaruhi emosional, pembaca/penerima dibuat seolah-olah ikut merasakan, ikut terlibat dari informasi yang dibagikan. Tidak heran kemudian pembaca dengan sangat gampangnya menyebarkan (share) informasi tersebut. Nah disini membaca dengan kesadaran kritis diperlukan dimana membaca informasi mesti dengan kesadaran tanpa tendensi keterikatan emosional pada informasi.
Membaca dengan kesadaaran kritis menurut Ngainun Naim (2013) mengarusutamakan pada pemahaman bahwa sebuah informasi tidak netral, karena dasarnya sarat akan kepentingan karena penulis/pembuat dipengaruhi oleh berbagai latar belakang, ideologi, sosial, politik, budaya atau yang lain. Semuanya berkaitan dan menjadi ruh dari informasi. Karenanya membaca harus dilakukan dengan kesadaran kritis.
Lalu bagaimana penerapannya? Dalam konteks informasi hoax membaca secara kritis dilakukan dengan terus-menerus mencari tahu maksud dari isi informasi, mengapa informasi dibuat, apa relevansi dan pengaruh dari informasi tersebut. Artinya membaca dengan kesadaran kritis mengupayakan untuk tidak menelan mentah-mentah dan menganggap benar seratus persen informasi yang ada dimedia sosial sebelum melewati proses mencari tahu.
Nah, jika proses membaca dengan kesadaran kritis terus menerus diaplikasikan dalam bermedia sosial berarti kita telah berkontribusi memutus rantai hoax sampai ke akar-akarnya. Sebab jika kita kritis, jualan inforasi hoax tentu tidak akan laku lagi, tidak dapat lagi membuat kegaduhan. Walhasil kedamaian akan tetap dan terus terjaga. Mari redam hoax dengan kritisisme yang berawal dari diri sendiri! Jangan sampai kemajuan bangsa tergadaikan.