By Saiful Bahri
jalandamai.org
Terbentuknya sebuah gerakan radikal dimulai dari kuatnya sebuah doktrin ideologi yang nantinya akan memengaruhi pola pikir, hingga secara psikologi akan berdampak kepada seseorang dalam bertindak. Karena Transformasi sebuah pemikiran atau pengetahuan akan mengantarkan kepada jalan bagaimana seseorang merefleksikan-nya terhadap apa yang sudah diketahui atau dipahami. Sehingga ideologi radicalism merupakan akar rumput bagaimana terbentuknya sebuah gerakan-gerakan teror, bahkan praktik “Halal darahnya” yang dilakukan tanpa ada rasa kasih terhadap saudaranya sendiri.
Kelompok radikal Islamic State In Iraq and Syria (ISIS) yang pernah mendeklarasikan sebagai penerus perjuangan khalifah Islamiyah di Iraq dan Syria pada tahun 2014, saat ini telah runtuh total. Akan tetapi yang menjadi catatan penting adalah runtuhnya sebuah kelompok radikal tersebut hanya gerakannya, bukan runtuhnya sebuah ideologi atau akar dibalik kuatnya gerakan tersebut.
Karena Ideologi radicalism jika dibiarkan tetap berkembang dalam lingkungan masyarakat, baik di Iraq, Syria dan bahkan di negara kita sendiri. Maka tidak menutup kemungkinan gerakan radikal yang telah runtuh akan kembali bangkit dan membangun kekuatan penuh yang akan menghancurkan orang yang baginya tidak sejalan atau di klaim “kafir”.
Maka tentunya bagi kita yang selalu mendambakan wajah Islam yang lebih baik dan penuh dengan rahmat bagi seluruh umat manusia adalah bagaimana kita memanfaatkan momen ini, bagaimana kita harus meredam atau bahkan menenggelamkan ideologi tersebut dengan merefleksikan Islam yang penuh dengan cinta di tengah-tengah kehidupan masyarakat secara umum.
Karena narasi-narasi atau pesan cinta dan perdamaian Islam sangat penting untuk kita sebarkan di ruang-ruang publik seperti di Masjid maupun tempat perkumpulan lainnya. Karena awal mula sebelum runtuhnya gerakan radikal yang ada di Iraq dan Syria, banyak masyarakat kita (Indonesia) yang merefleksikan doktrin radicalism hingga membuat dirinya berhijrah ke jalan radikal tersebut hingga bergabung dalam melakukan gerakan oposisi terhadap ke pemerintahan yang menurutnya tidak sesuai dengan syariat Islam.
Problematika umat Islam saat ini yang mengatasnamakan dirinya sebagai pembela Tuhan, sebenarnya sangat menyedihkan apabila bertindak anarkis dengan hanya memahami ajaran yang bersifat satu perspektif tanpa memikirkan ulang atau menarasikan ulang dengan melihat kondisi sosial kebudayaan yang ada. Karena ajaran-ajaran yang ada dalam Al-Qur’an tidak mudah kita mengambil secara normatif. Artinya kita harus ada interpretasi ulang terhadap ayat tersebut hingga kita mengaitkan kepada situasi atau kondisi yang telah berkembang dalam kehidupan masyarakat tersebut.
Dengan runtuhnya kelompok ISIS, saatnya kita membangun kembali bagaimana kita menjadikan wajah Islam yang lebih indah dan lebih menghargai sesama tanpa merasa lebih benar dan orang lain salah. Karena ajaran dalam Islam kita harus paham betul bagaimana kita harus mematangkan pikiran dan tindakan yang akan kita lakukan.
Ayat-ayat peperangan dalam Al-Qur’an, jangan sampai kita salah tafsir dan bahkan salah memahami karena kita tidak terlalu tahu sebab turunnya ayat tersebut. Karena dalam Al-Qur’an banyak penjelasan secara komprehensif bagaimana kita memerangi orang yang memerangi kita. Bukan memerangi orang yang tidak salah dan tidak berbuat apa-apa kepada kita, lalu kita mengakhiri nyawanya dengan mengatasnamakan “berperang di jalan Allah”.
Oleh karena itu, merefleksikan Islam yang penuh dengan cinta adalah jalan yang dapat kita ambil untuk menciptakan wajah Islam yang mampu memberikan kebaikan bersama dan umatnya selalu menjaga kebersamaan dan perdamaian. Ideologi cintalah yang saat ini kita butuhkan, bukan ideologi kekerasan yang tidak memiliki nilai kemanusiaan. Mari kita jadikan Islam kita untuk menciptakan bangsa yang penuh dengan kebersamaan, keadilan, dan perdamaian dengan refleksi ideologi Islam cinta yang akan mengedepankan kasih-sayang.