By Nur Rokhim
jalandamai.org
Lembaga Survei Indonesia (LSI) menemukan fakta yang mengkhawatirkan soal Pancasila. LSI mengungkapkan bahwa dalam kurun waktu 13 tahun terakhir, publik yang pro terhadap Pancasila menurun sebanyak 10 persen. Tahun 2005, publik pro Pancasila masih mencapai angka 85,2%. Lima tahun kemudian, tahun 2010 angkat tersebut turun ke 81,7 persen. Tahun 2015, angkat itu turun lagi menjadi 79,4% dan tiga tahun kemudian, tahun 2018, publik yang pro Pancasila tinggal 75,3%.
Sebaliknya, survei yang dilaksanakan di 34 provinsi pada 28 Juni-5 Juli 2018 tersebut menemukan fakta bahwa publik pro NKRI bersyariah jumlahnya semakin naik. Tahun 2005 di angka 4,6% kemudian naik menjadi 7,3% tahun 2010. Lima tahun kemudian, tahun 2015, jadi 9,8% dan naik lagi mencapai angka 13,2%. Dalam kurun waktu 13 tahun, publik yang setuju terhadap NKRI bersyariah naik sebanyak 9%
Survei tersebut, menunjukkan bahwa Pancasila sebagai dasar negara NKRI hari ini menghadapi tantangan yang luar biasa. Kelompok-kelompok yang ingin mengganti Pancasila dan NKRI sudah berani menampakkan diri dengan terang-terangan. Mereka melakukan berbagai cara untuk merongrong NKRI dan terus mempromosikan khilafah atau NKRI bersyariah sebagai gantinya. Inilah tantangan yang harus segera direspon oleh generasi milenial jika tidak ingin Pancasila dan NKRI diganti dengan Khilafah atau dengan NKRI bersyariah.
Warisan Ulama
Mari kita kembali ke tahun 1945, menjelang kemerdekaan, datang rombongan dari Jakarta ke Tebuireng, Jombang. Rombongan tersebut dipimpin langsung oleh KH. Wahid Hasyim, ayah dari Gus Dur dan putra dari Hadratusyeikh KH. Hasyim Asy’ari. Rombongan itu merupakan utusan langsung dari Soekarno yang hendak meminta pendapat Hadratusyeikh terkait Pancasila sebagai dasar negara sudah sesuai dengan syariat Islam atau tidak.
Mendengar pertanyaan itu, Hadratusyeikh tidak langsung menjawab. Hadratusyeikh tidak ingin tergesa-gesa memutuskan. Bagaimana pun juga, itu menyangkut masa depan bangsa Indonesia yang majemuk. Jika salah, maka perpecahan di depan mata. Hadratusyeikh lalu melakukan tirakat untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Seperti yang dikisahkan oleh KH. Ahmad Muwafiq atau yang akrab disapa Gus Muwafiq, di antara tirakat Hadrastusyeikh ialah puasa tiga hari. Selama puasa tersebut, beliau meng-khatam-kan Al-Qur’an dan membaca Al-Fatihah. Setiap membaca Al-Fatihah dan sampai pada ayat iya kana’ budu waiya kanasta’in, Hadratusyeikh mengulangnya hingga 350.000 kali. Kemudian, setelah puasa tiga hari, beliau melakukan shalat istikharah dua rakaat. Rakaat pertama membaca Surat At-Taubah sebanyak 41 kali, sedangkan rakaat kedua membaca Surat Al-Kahfi juga sebanyak 41 kali. Kemudian beliau istirahat tidur. Sebelum tidur Hadratusyeikh membaca ayat terakhir dari Surat Al-Kahfi sebanyak 11 kali.
Usai melaksanakan tirakat tersebut, Hadrastuyeikh lalu menyampaikan pendapatnya kepada anaknya yang juga ketua rombongan, KH. Wahid Hasyim. Hadratusyeikh mengatakan jika Pancasila sudah sesuai dengan syariat Islam. Sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa sudah sesuai dengan prinsip ketauhidan dalam Islam. Maka, diputuskanlah Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Dengan demikian, Pancasila adalah warisan ulama.
“Jihad” Mengawal Pancasila
Generasi milenial yang lahir para periode 1998-1997, hari ini jumlahnya tidak sedikit. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengungkapkan jika jumlah generasi milenial di Indonesia mencapai 90 juta jiwa. Tentu saja, ini jumlah yang luar biasa. Jika semua milenial “jihad” melakukan pengawalan terhadap ideologi Pancasila sebagai pemersatu bangsa, tentu hasilnya akan luar biasa. Lalu bagaimana cara milenial melakukan jihad mengawal Pancasila?
Pertama¸ menggunakan teknologi sebagai senjata. Hari ini, perkembangan teknologi luar biasa cepatnya. Hal itu membuat orang dengan mudah menyebarkan informasi apa pun. Hanya dengan bermodal jempol dan waktu beberapa detik, seseorang mampu menyebarkan informasi lewat aplikasi chating atau pun medsos. Inilah yang harus dimanfaatkan oleh para generasi milenial dalam mengawal Pancasila sebagai ideologi bangsa. Para milenial harus berkarya menyebarkan ideologi Pancasila dalam berbagai bentuk, misal meme dan video. Karya-karya tersebut nanti diviralkan diberbagai saluran informasi, entah itu aplikasi chating atau media sosial.
Kedua, membangun jejaring admin medsos yang pro Pancasila. Hal itu penting untuk dilakukan agar gerakan penyebaran ideologi Pancasila lewat dunia maya bisa masif dan efektif. Hari ini banyak sekali akun-akun media sosial, baik itu Facebook atau Instagram yang terus aktif melawan gerakan radikal di dunia maya. Mereka melakukan kontra narasi terhadap segala bentuk upaya merongrong Pancasila. Dan mayoritas admin dari akun-akun tersebut adalah generasi milenial. Jika mereka berjejaring satu dengan yang lainnya, tentu gerakan penyebaran ideologi Pancasila melalui dunia maya akan sangat masif dan efektif. Pancasila sebagai dasar negara adalah warisan para ulama yang harus semestinya dijaga. Kelompok-kelompok yang ingin menggantinya, menganggap gerakannya sebagai jihad menegakkan khilafah. Tentu, jika mereka jihad menegakkan khilafah, generasi milenial juga harus melakukan gerakan jihad mengawal Pancasila. Bukan untuk hari ini, tapi untuk masa depan Indonesia yang tetap utuh, beragam, dan bersatu. Melenial mengawal Pancasila, mengapa tidak? Rawe-rawe rantas, malang-malang putung! Mari ambil bagian, bung!
Lembaga Survei Indonesia (LSI) menemukan fakta yang mengkhawatirkan soal Pancasila. LSI mengungkapkan bahwa dalam kurun waktu 13 tahun terakhir, publik yang pro terhadap Pancasila menurun sebanyak 10 persen. Tahun 2005, publik pro Pancasila masih mencapai angka 85,2%. Lima tahun kemudian, tahun 2010 angkat tersebut turun ke 81,7 persen. Tahun 2015, angkat itu turun lagi menjadi 79,4% dan tiga tahun kemudian, tahun 2018, publik yang pro Pancasila tinggal 75,3%.
Sebaliknya, survei yang dilaksanakan di 34 provinsi pada 28 Juni-5 Juli 2018 tersebut menemukan fakta bahwa publik pro NKRI bersyariah jumlahnya semakin naik. Tahun 2005 di angka 4,6% kemudian naik menjadi 7,3% tahun 2010. Lima tahun kemudian, tahun 2015, jadi 9,8% dan naik lagi mencapai angka 13,2%. Dalam kurun waktu 13 tahun, publik yang setuju terhadap NKRI bersyariah naik sebanyak 9%
Survei tersebut, menunjukkan bahwa Pancasila sebagai dasar negara NKRI hari ini menghadapi tantangan yang luar biasa. Kelompok-kelompok yang ingin mengganti Pancasila dan NKRI sudah berani menampakkan diri dengan terang-terangan. Mereka melakukan berbagai cara untuk merongrong NKRI dan terus mempromosikan khilafah atau NKRI bersyariah sebagai gantinya. Inilah tantangan yang harus segera direspon oleh generasi milenial jika tidak ingin Pancasila dan NKRI diganti dengan Khilafah atau dengan NKRI bersyariah.
Warisan Ulama
Mari kita kembali ke tahun 1945, menjelang kemerdekaan, datang rombongan dari Jakarta ke Tebuireng, Jombang. Rombongan tersebut dipimpin langsung oleh KH. Wahid Hasyim, ayah dari Gus Dur dan putra dari Hadratusyeikh KH. Hasyim Asy’ari. Rombongan itu merupakan utusan langsung dari Soekarno yang hendak meminta pendapat Hadratusyeikh terkait Pancasila sebagai dasar negara sudah sesuai dengan syariat Islam atau tidak.
Mendengar pertanyaan itu, Hadratusyeikh tidak langsung menjawab. Hadratusyeikh tidak ingin tergesa-gesa memutuskan. Bagaimana pun juga, itu menyangkut masa depan bangsa Indonesia yang majemuk. Jika salah, maka perpecahan di depan mata. Hadratusyeikh lalu melakukan tirakat untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Baca juga : Generasi Millennial Sebagai “Khalifah” dalam Menguatkan Ideologi Pancasila
Seperti yang dikisahkan oleh KH. Ahmad Muwafiq atau yang akrab disapa Gus Muwafiq, di antara tirakat Hadrastusyeikh ialah puasa tiga hari. Selama puasa tersebut, beliau meng-khatam-kan Al-Qur’an dan membaca Al-Fatihah. Setiap membaca Al-Fatihah dan sampai pada ayat iya kana’ budu waiya kanasta’in, Hadratusyeikh mengulangnya hingga 350.000 kali. Kemudian, setelah puasa tiga hari, beliau melakukan shalat istikharah dua rakaat. Rakaat pertama membaca Surat At-Taubah sebanyak 41 kali, sedangkan rakaat kedua membaca Surat Al-Kahfi juga sebanyak 41 kali. Kemudian beliau istirahat tidur. Sebelum tidur Hadratusyeikh membaca ayat terakhir dari Surat Al-Kahfi sebanyak 11 kali.
Usai melaksanakan tirakat tersebut, Hadrastuyeikh lalu menyampaikan pendapatnya kepada anaknya yang juga ketua rombongan, KH. Wahid Hasyim. Hadratusyeikh mengatakan jika Pancasila sudah sesuai dengan syariat Islam. Sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa sudah sesuai dengan prinsip ketauhidan dalam Islam. Maka, diputuskanlah Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Dengan demikian, Pancasila adalah warisan ulama.
“Jihad” Mengawal Pancasila
Generasi milenial yang lahir para periode 1998-1997, hari ini jumlahnya tidak sedikit. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengungkapkan jika jumlah generasi milenial di Indonesia mencapai 90 juta jiwa. Tentu saja, ini jumlah yang luar biasa. Jika semua milenial “jihad” melakukan pengawalan terhadap ideologi Pancasila sebagai pemersatu bangsa, tentu hasilnya akan luar biasa. Lalu bagaimana cara milenial melakukan jihad mengawal Pancasila?
Pertama¸ menggunakan teknologi sebagai senjata. Hari ini, perkembangan teknologi luar biasa cepatnya. Hal itu membuat orang dengan mudah menyebarkan informasi apa pun. Hanya dengan bermodal jempol dan waktu beberapa detik, seseorang mampu menyebarkan informasi lewat aplikasi chating atau pun medsos. Inilah yang harus dimanfaatkan oleh para generasi milenial dalam mengawal Pancasila sebagai ideologi bangsa. Para milenial harus berkarya menyebarkan ideologi Pancasila dalam berbagai bentuk, misal meme dan video. Karya-karya tersebut nanti diviralkan diberbagai saluran informasi, entah itu aplikasi chating atau media sosial.
Kedua, membangun jejaring admin medsos yang pro Pancasila. Hal itu penting untuk dilakukan agar gerakan penyebaran ideologi Pancasila lewat dunia maya bisa masif dan efektif. Hari ini banyak sekali akun-akun media sosial, baik itu Facebook atau Instagram yang terus aktif melawan gerakan radikal di dunia maya. Mereka melakukan kontra narasi terhadap segala bentuk upaya merongrong Pancasila. Dan mayoritas admin dari akun-akun tersebut adalah generasi milenial. Jika mereka berjejaring satu dengan yang lainnya, tentu gerakan penyebaran ideologi Pancasila melalui dunia maya akan sangat masif dan efektif. Pancasila sebagai dasar negara adalah warisan para ulama yang harus semestinya dijaga. Kelompok-kelompok yang ingin menggantinya, menganggap gerakannya sebagai jihad menegakkan khilafah. Tentu, jika mereka jihad menegakkan khilafah, generasi milenial juga harus melakukan gerakan jihad mengawal Pancasila. Bukan untuk hari ini, tapi untuk masa depan Indonesia yang tetap utuh, beragam, dan bersatu. Melenial mengawal Pancasila, mengapa tidak? Rawe-rawe rantas, malang-malang putung! Mari ambil bagian, bung!