free page hit counter
Blogging Should Be Fun !

Gaya Hidup Generasi Rebahan Diruang Toleransi dan Intoleransi

Lajunya teknologi pada saat ini semakin di depan dan tak bisa terbendung. Teknologi yang sangat berpengaruh bagi aspek kehidupan manusia dimasa kini terasa begitu dilematik bak dua sisi mata uang yang disatu sisi berdampak positif untuk melancarkan kehidupan, disisi lain dapat berdampak negatif bagi kehidupan tidak memilikinya untuk melangsungkan hidup.

Tidak bisa dipungkiri bahwa dampak dari lajunya teknologi yang telah melahirkan kemudahan-kemudahan baru dirasa dapat membantu  melancarkan urusan kehidupan manusia, salah satunya dalam segi informasi komunikasi dan pekerjaan. Tetapi dilain sisi dibutuhkan kesadaran dari atas kemudahan-kemudahan tersebut karena tentu banyak hal negatif yang berpotensi untuk memunculkan oleh lajunya dari teknologi tersebut.

Bila keadaannya semakin demikian maka sebagai pelaku pengguna teknologi harus bijak dalam memanfaatkan kemajuan teknologi tersebut. Jangan sampai tertunggangi oleh lajunya teknologi ini, akan tetapi bagaimana caranya agar kita dapat menunngganginya sesuai porsi esensi teknologi sebagai salah satu alat kehidupan.

Dengan melihat satu dampak negatif dari percepatan teknologi berupa munculnya fenomena generasi rebahan yang semakin merubah ekosistem masyarakat dimasa pandemi Covid 19. Perubahan ini semakin lengkap dengan mulusnya agenda Phisical Distancing yang banyak memakan korban khususnya kalangan anak muda yang terbuai hingga terlena dengan percepatan teknologi. Contohnya kasus dimana banyak dari mereka lebih memilih menghabiskan waktunya berjam-jam hanya untuk bermain game online, tiktokan, menonton drama korea yang semua itu bisa dilakukan dengan rebahan, apakah ini merupakan akan terkikisnya dimensi sosial?

Hasil dari lajunya teknologi bisa saja membuat keadaan menjadi lebih individualis, gaya hidup mager (malas gerek)  dan rebahan mulai mengacuhkan individu dari keluarga, teman-teman dan tetangga yang seharusnya membtuhkan interaksi, bukan suatu hal yang aneh apabila menjumpai individu yang tidak menghargai orang lain.

Merespon akan keadaan tersebut alangkah baiknya bila kita mendekontruksikan ulang pemahaman toleransi dan intoleransi karena hal ini dirasa termasuk kedalam ranah sosial yang mulai terkikis porsinya.  Russlell  Power dan Steve Clarke dalam bukunya yang berjudul Religion  Tolerance and Intolerance: Views Across The Disciplines. Meletakan elemen “tidak mengganggu” sebagai inti dari toleransi. Porsi elemen  “tidak mengganggu“ ini harus bersifat  direct, atau “tidak menggaggu secara langsung”.

Dikatakan demikian karena didalam toleransi terkandung kata kunci sebagai prinsip dasarnya yaitu terdapat unsur “kesengajaan” dan unsur “tidak mengganggu”. Maka dari sini dapat disimpulkan bahwa hanya dengan “sengaja-tidak-mengganggu” terhadap orang lain maka seseorang tersebut toleran.

Bertolak dari hal terbseut, pemahamaa makna intoleransi merupakan kebalikan dari semua prinsip yang terdapat dalam toleransi. Setidaknya ada beberapa unsur yang kontradiktif seperti ketidak  mampuan menahan diri dari tidak suka kepada orang lain, adanya unsur mencampuri dan menentang sikap orang lain, dan sengaja- mengganggu orang lain, dalam hal ini toleransi betumpu muncul namun keadaan itu terlahir dari kumpulan pemikiran yang tersusun dari pengalaman-pengalaman berfikir dari dalam diri.

Jika demikian adanya maka dapat disimpulkan bahwa intoleransi merupakan tindakan yang dibentuk. Contoh seorang individu menjadi tidak toleran karena pengaruh sebuah narasi-narasi yang keliru. Bila dalil-dalil intoleransi terus menerus ditanamkan dalam pikiran, maka keterpengaruhan akan sebuah narasi yang kemudian menjelma menjadi tindakan dikhawatirkan malah membentuk kebiasaan.

Tantangan akan realisasi toleransi dan intoleransi telah menjadi PR bagi generasi rebahan. Tentunya hal ini dikembalikan lagi kepada masing-masing individu untuk meresponya. Bentuk sikap sederhana berupa interaksi langsung dan saling menghargai sikap orang lain dirasa dapat menjadi solusi ringan agar terhindar dari kegagalan pengaplikasian toleransi.

Meski dimasa pandemic ini masih diaharuskan untuk Phisical Distancing,  bukanlah hal yang sulit apabila interaksi kecil berupa sapaan, obrolan singkat berjarak senyuman hingga upaya untuk mengucap terima kasih dapat menyelamatkan individu dari krisis toleransi, semoga dimasa transisi  pademi saat ini, kita semua dapat lebih memanusiakan manusia melalui porsi toleransi dan menghindarkan diri dari ruang intoleransi, Rebahanlah secukupnya tapi jangan budayakan mager (malas gerak) dalam keberlangsungan hidup sosial.

*Mustamin

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

RECENT POSTS
ADVERTISEMENT
Our gallery