Angka yang menunjukkan kasus Covid-19 di Indonesia masih mengalami peningkatan dari hari ke hari. Terhitung, tanggal 7 Mei 2020 total kasus yang direkam oleh Kemenkes sebanyak 12.776. Namun, ada saja kabar di media yang tersebar menunjukkan perbedaan jumlah kasus Covid-19—yang mengaburkan stigma masyarakat atau pembaca. Seperti halnya data jumlah kematian terkait kasus Covid-19.
Kasus Covid-19 masih menjadi permasalahan utama di Indonesia, yang terus bergulir. Sehingga pemberitaan akan hal tersebut juga masif. Namun, jika tidak dibarengi dengan cerdas bermedia, baik dari sumber penyedia berita atau pembaca. Maka kabar hoax akan menjadi konsumsi masyarakat.
Kabar yang menyeruak adalah jumlah pasien Covid-19 yang meninggal dunia. Berita ini, sudah menyebar ke khalayak ramai, dan menjadikan masyarakat panik. Data yang tempo hari diungkapkan oleh Ketua Umum PB IDI Daeng M Faqih, bahwa jumlah kematian karena Covid-19 sebanyak 1000 orang (data yang didapat dari BNPB). Sedangkan dari salah satu pihak yang merupakan sumber terpercaya, yaitu juru bicara (jubir) pemerintah. Justru mengungkapkan ketidaksaaman jumlah tersebut. Jubir pemerintah, mengungkapkan bahwa pasien yang meninggal dunia sebanyak 582 orang.
Perbedaan angka ini termasuk hal yang vital, ketika sampai kepada masyarakat. Ada masyarakat yang sikapnya bijak, mencoba mencari keakuratan atau berita yang berkaitan dengan suatu pemberitaan tersebut. Namun, adapula yang menyikapinya dengan kekhawatiran serta kebingungan. Hingga memunculkan stigma negatif kepada pemerintah, yang telah semaksimal mungkin menangani kasus pandemi ini.
“Jumlah 1000 tersebut adalah gabungan antara kematian yang berstatus PDP dan psositif Covid-19. Jika digabungkan jumlahnya adalah lebih dari 1000”, jelas Daeng. Penyampaian hal tersebut harus jelas, ketika disampaikan kepada masyarakat. Sedangkan dari pihak pemerintah (Achmad Yurianto), yang mengungkapkan kasus kematian adalah pasien yang memang positif Covid-19 berdasarkan Tes PCR (Polymerase Chain Reaction).
Terkait kasus kematian atas Covid-19, pemberitaan ini memiliki perbedaan dalam indikator siapa saja yang termasuk dalam data kematian tersebut. Jubir (Yurianto), menjelaskan bahwa PDP tidak masuk ke dalam data kematian karena terinveksi Covid-19, karena belum terkonfirmasi. Hal tersebut dikarenakan, belum melakukan tes PCR atau sudah tes hanya saja hasilnya belum keluar. Sehingga belum pasti masuk ke dalam suspect corona atau positif.
Menanggapi hal ini, Presiden Jokowi menyampaikan bahwa masyarakat harus cerdas dalam menerima berita. Masyarakat harus menelisik dari mana data tersebut diperoleh, sehingga tidak secara instan mengkonsumsi berita yang diterima. Apalagi jika kemudian menyebarkannya tanpa tanpa tabayyun terlebih dulu (mencari penjelasan, berita lain yang berkaitan) untuk meyakinkan data yang beredar.
Disinilah fungsinya mencari informasi dari berbagai sumber, minimal akan mengetahui letak perbedaan dan penjelasan yang lebih rinci. Sehingga, dapat menekan rasa khawatir atau cemas akibat kabar siampang-siur yang beredar—belum tau kebenaran yang pasti. Mengingat saat ini, tidak sedikit media yang tidak dapat dibendung dalam menyampaikan berita terkait kasus Covid-19. Tidak jarang media memang memiliki sifat propaganda, karena memanfaatkan momen. Namun, tidak sedikit juga media yang menyampaikan hal valid disertai penjelasan (anti propaganda). Saat ini, salah satu upaya membentengi diri dalam kompleksnya pemberitaan Covid-19 adalah menjadi masyarakat yang melek media (pembaca cerdas). Paham bahwa budaya mencari penjelasan terkait suatu pemberitaan—amat penting!
*Atssania Zahroh