Lima hari sebelum Idul Fitri 1441 H, seorang anak duduk di beranda dengan smartphone di genggamannya dan perasaan was-was di hatinya. Sebelum Dzuhur, ibunya memutuskan untuk berangkat menuju mal yang dikabarkan telah dibuka. Meski ditentang habis-habisan, ibunya kekeh pergi. “Mumpung ibu dapat bansos, beli baju baru.” katanya. Sampai sore ini, dia belum pulang.
Sang anak bahkan sampai tidak terpikir untuk menyiapkan sajian berbuka. Masih segar ingatannya ketika ibunya berdandan rapi, menyemprot parfum, memakai masker lalu helm. Motor matic kecil itu pun menghilang di ujung gang. Ia bertopang dagu, melipat kaki, memakai majalah untuk mengipas badannya yang kegerahan. Deru motor itu belum juga terdengar.
Ia berusaha memahami ibunya. Berbulan-bulan dibelenggu dalam rumah—meski untuk kebaikannya—pada akhirnya menggerogot kecintaannya pada kebebasan. Udara segar, wangi dedaunan, dihalangi oleh dinding biru telur asin dan bau bawang. Hari-hari yang biasa dihiasi dengan kicauan gosip panas di gerobak tukang sayur lantas tiada lagi. Sampai pagi ini, ketika sebuah pesan masuk ke ponsel ibunya dengan pembuka yang khas: “Eh, jeng… Tahu gak?”
Jauh dalam hatinya ia sebenarnya merindukan itu, suatu masa di mana semuanya sangat normal. Ia masih bekerja di kantornya, yang meski hanya dibayar UMR naik sedikit, namun tidak pernah kurang untuk kebutuhan mereka berdua. Terutama di bulan Ramadhan, ketika ia membuka pagar dengan senyum sumringah dan tentengan kolak biji salak di tangannya, sementara ibunya sudah duduk manis di meja makan dengan sambal tauge dan ikan mas goreng yang masih panas. Tidak ada yang dikhawatirkan.
Kini, karena ia termasuk di antara karyawan yang tersingkir demi menyelamatkan modal perusahaan, keluarganya pun menjadi salah satu penerima bantuan sosial. Dus sembako dan selembar amplop berisi uang di dalamnya terasa seperti harta karun yang telah lama mereka nantikan. Itu bisa bertahan lama, seandainya ibunya tidak secara spontan memutuskan sepihak. Entah untuk membayar kejenuhan atau memenuhi gengsinya yang biasa berlebaran dengan pakaian baru. Kebiasaan yang seharusnya sudah hilang sejak jenazah ayahnya masuk ke liang lahat.
Beranda Instagram sang anak penuh dengan video amatir riuhnya pengunjung mal. Mereka berlarian melewati kios-kios yang pintunya terbuka setengah. Ia memperhatikan dengan saksama, barangkali ibunya ada di sana, menjadi epitome dari hampir seluruh komentar yang berteriak “Tolol”, “Bodoh”, dan sebagainya. Ia marah membacanya, namun lebih marah dengan fakta bahwa ibunya sukarela mengorbankan dirinya—dan kemungkinan besar, anaknya—pada paparan virus. Barangkali satu bulan dari sekarang ia sudah tidak bangun lagi.
Namun ia ingat ini adalah bulan Ramadhan, bulan yang suci dan jauh dari dosa. Amarah dan prasangka buruk itu tenggelam bersama ratusan kecamuk emosi lainnya.
Sang anak mendengar pintu pagar tetangganya terbuka. Seorang gadis seusianya mengomel melihat orangtuanya yang baru pulang. Seperti ibunya, mereka baru kembali dari pusat perbelanjaan. Ia mengenal orang-orang itu, keluarga Kristen yang taat. Dulu, setiap Minggu mereka tidak pernah bolos ke gereja. Gadis itu memanjatkan pujian pada Tuhan-nya di sela-sela kejengkelan yang tak tertahan akibat aksi nekat tersebut.
Don’t take things for granted, istilahnya. Jangan menyepelekan apa yang telah diberikan. Berapa lama mereka melewati tahun-tahun tanpa rasa syukur, berpikir bahwa besok akan sama seperti hari ini? Tidak ada yang tahu. Karena kuasa Tuhan adalah sesuatu yang tidak bisa dikontrol oleh siapapun. Termasuk ibunya yang tiba-tiba berpikir untuk melesat mencari baju baru, apa alasannya hanya akan ia ketahui—atau tidak ketahui—tergantung ketika ibunya pulang nanti.
Sebuah motor berhenti di depan pagar. Sosok yang terasa lama ia nantikan akhirnya muncul juga. Ke depannya, jika masih diberi selamat, artinya masih ada kesempatan bagi mereka untuk lebih bersyukur atas apa yang dipunya.
Ada banyak pilihan yang dibuat setiap hari, dan hasilnya tergantung dari pertimbangan di dalamnya. Terutama di masa sekarang, karena menjalani bulan Ramadhan di tengah pandemi seperti ini bukanlah perkara umat Muslim saja, namun untuk semuanya. Seperti menumpang di satu kapal yang melaju tak tentu arah, hanya saja ada satu kaum berkewajiban dalam sebulan untuk menahan lapar, haus, dan amarah.
*Safira Nisa Al Dieka