Islam mengajarkan umatnya untuk berdamai. Melalui ajaran Al-Quran dan Sunnah seorang muslim dididik memiliki akhlak yang mulia, selalu mengedepankan solusi perdamaian dan berupaya menghindari peperangan dan pertumpahan darah.
Seperti diketahui, dalam ayat-ayat tentang perang dan buku-buku sejarah islam dijelaskan bahwa perang baru terjadi di saat umat Islam memang dihadapkan pada kondisi tempur. Dalam kondisi tersebut umat Islam harus membela diri dan agama mereka.
Tercatat, ebih dari 25 peperangan pernah terjadi sepanjang sejarah Islam. Namun hanya sembilan peperangan saja yang berakhir dengan pertempuran. Selain itu, selalu diakhiri dengan menyerahnya pihak musuh atau tercapainya perdamaian kedua belah pihak.
Dari sekian banyak perang yang terjadi, perang Badar menjadi salah satu perang yang dimenangkan oleh pasukan kamu Muslim.
Perang Badar merupakan pertempuran terbesar pertama antara umat Islam melawan musuh-musuhnya. Perang Badar terjadi pada 17 Ramadan 2 Hijriah atau sekira tanggal 13 Maret 624 M. Pada saat perang Badar, pasukan kaum Muslim hanya berjumlah sekitar 300 orang. Berbeda jauh dengan pihak musuh, yaitu kaum Quraisy dari Mekkah memiliki pasukan sekitar 1.000 hingga 3000 orang.
Meski secara jumlah pasukan kaum Muslim kalah, namun kaum Muslim berhasil menang dengan gemilang melawan kaum Quraisy Mekkah. Sebanyak 70 orang dari kelompok musuh tewas dan 70 lainnya tertawan dalam pertempuran. Sedangkan, terdapat 14 orang dari kelompok Muslim wafat sebagai syuhada.
Usai berperang dan menjadi pihak pemenang dalam pertemuran, Nabi Muhammad SAW mengingatkan pasukannya bahwa pertempuran ini merupakan perang kecil dibandingkan dengan memerangi hawa nafsu. Karena kemenangan sejati bukanlah berperang melawan kelompok lain, namun kemenangan atas diri sendiri. Kemenangan atas hawa nafsu sendiri.
Kemenangan kaum Muslim dalam perang Badar memicu banyak orang berbondong-bondong ingin masuk Islam. Termasuk masuknya berbagai kabilah yang berasal dari Mekkah dan dari sanalah mulai banyak para pemeluk Islam. Melihat hal itu, tentu memberikan kekhawatiran bagi kaum kafir Quraisy.
Kaum kafir Quraisy pun akhirnya menghadang rombongan kaum Muslim yang hendak melaksanakan ibadah haji ke Mekkah. Sehingga terjadilah perjanjian Hudaibiyah. Adapun poin-poin dalam perjanjian Hudaibiyah antara kaum muslim dan Quraisy tersebut diantaranya, Pertama, akan ada gencatan senjata antara dua pihak dan tidak ada pertempuran hingga 10 tahun mendatang.
Kedua, individu atau suku bebas bergabung dengan Muhammad dan mengadakan persetujuan, sama halnya dengan Quraisy. Ketiga, jika ada penduduk Mekkah yang pergi ke Madinah maka akan dikembalikan ke Mekkah, namun jika ada muslim dari Madinah yang kembali ke Mekkah maka dia tidak akan dikembalikan. Keempat, jika ada penduduk usia muda yang mengikuti Muhammad tanpa seizin ayah atau walinya, maka dia akan dikembalikan pada ayah atau walinya. Namun jika ada yang mengikuti Quraisy di Mekkah maka dia tidak akan dikembalikan.
Kelima, tahun ini muslim akan kembali tanpa memasuki Mekkah. Namun tahun depan Muhammad dan pengikutnya bisa memasuki Mekkah menghabiskan tiga hari untuk melakukan umroh.
Secara logika, perjanjian Hudaibiyah ini tentu merugikan pihak Islam. Namun atas dasar kebenaran yang dibawa oleh Islam, ternyata faktanya berbanding balik. Dengan perjanjian Hudaibiyah, banyak suku lain di luar Mekkah yang berbondong-bondong masuk Islam. Termasuk suku Khuzaan. Suku Khuzaan merupakan suku yang memiliki sejarah permusuhan dengan suku Bakr yang saat itu bergabung dengan kaum kafir Quraisy.
Mengetahui hal itu, pihak Quraisy pun memerintahkan suku Bakr untuk memerangi musuhnya, yaitu suku Khuzaan. Sebelum terjadi peperangan, rencana penyerangan itu sampai ke telinga Rasulullah. Sehingga Rasul beserta pasukan kaum Muslim pun memutuskan untuk mendatangi kaum Quraisy di Mekkah lantaran telah melanggar janji perdamaian Hudaibiyah.
Besarnya jumlah kaum muslim yang turut serta inilah yang membuat kafir Quraisy ketakutan. Terlebih, bahwa mereka berada di pihak yang salah karena telah melanggar janji perdamaian. Sehingga menduga pasukan Muslim akan membalas kekejaman seperti yang dilakukannya kepada kaum muslimin dahulu kala.
Untuk menghindari bentrokan dengan kaum Kafir Quraisy, Nabi Muhammad dan rombongannya mengambil lima rute yang berbeda hingga sampai di wilayah Hudaibiyah, Mekkah.
Setelah sampai di Mekkah, diluar dugaan kaum kafir Quraisy yang mengira bahwa pasukan Muslim akan menyerang kaum mereka, Nabi Muhammad justru memerintahkan penduduk Mekkah untuk masuk ke rumahnya masing-masing.
“Hadza laisa yaumil malhamah, walakinna hadza yaumul marhamah, wa antumut thulaqa”.
“Wahai manusia, hari ini bukan hari pembantaian, melainkan hari ini adalah hari kasih sayang, dan kalian semua merdeka kembali ke keluarga kalian masing-masing”.
Dalam beberapa sumber ditulis,
“Siapa saja yang masuk rumah Abu Sufyan, maka dia aman”
“Siapa saja yang masuk Masjidil Haram, amanlah ia”
“Siapa saja yang masuk rumahnya masing-masing, dia aman”
Dari peristiwa tersebut, dapat dipelajari bahwa Nabi dan kaum Muslim telah menaklukan hawa nafsunya untuk balas dendam, sebagaimana yang telah Nabi peringatkan ketika usai perang Badar bahwa perang paling besar adalah melawan hawa nafsu.
Dengan strategi yang beliau terapkan, yaitu bukan bagaimana memusnahkan musuh dengan pertemupuran, tapi bagaimana meminimalisasi korban sampai sedikit mungkin terjadi kematian pada kedua belah pihak. Strategi Nabi tersebut mengantarkan umat Islam pada perdamaian tanpa ada pertumpahan darah.
Pasalnya, menang tidak mesti menindas, menang tidak harus mencaci maki, menang tidak harus mengucilkan kelompok lain agar diakui sebagai pihak yang kuat. Karena sejatinya, kemenangan berasal dari kedamaian diri sendiri yang didapatkan dari kemampuan kita untuk melawan hawa nafsu.
*Siti Ressa Mutoharoh