Generasi millenial, istilah yang sudah tidak asing di zaman modern saat ini. Pencetus istilah tersebut adalah William Strauss dan Neil Howe. Generasi millenial menurut penuturan situs resmi kominfo.go.id adalah generasi yang lahir tahun 1980-1990, atau pada awal tahun 2000 dan seterusnya, generasi ini sering disebut sebagai generasi Y (lahir setelah generasi X). Generasi Y, memiliki julukan echo boomers, berarti peningkatan pesat.
Generasi yang terus mengalami peningkatan (jumlah) berdasarkan kategori tahun kelahiran, dan terus berkembang—serta belum diketahui batas akhirnya. Generasi millenial, sebut saja ‘generasi muda’ ini adalah mereka yang hidup di tengah-tengah berkembangnya teknologi. Segalanya sudah bersifat mesin atau maya, sehingga apapun yang berkembang telah memanfaatkan dunia maya (sosial media) agar tetap timbul kreatifitas dan terus menelurkan inovasi. Selain itu, yang mencirikan generasi millenial adalah menginginkan suatu hal secara instan. Mereka—generasi millenial tidak segan tanpa pertimbangan, terburu-buru untuk menerapkan dalam kesehariannya, baik diri sendiri atau menghendaki lingkuangannya agar sama dengan mereka.
Perilaku generasi Y (miilenial) di atas dapat dilihat ketika generasi tersebut sebagai pelaku agama. Dalam arti, generasi muda sedang dalam masa transisi atau penemuan jati diri, tidak lain adalah dalam pengalaman beragama. Contoh konkritnya adalah ketika generasi muda yang masih trend dengan istilah ‘hijrah’. Istilah ini sering berkaitan dengan isu-isu atau praktik radikal. Secara harfiah, radikal berarti perubahan mendasar pada suatu hal.
Generasi muda akan mencari kelompok dimana dia mendapatkan hal baru, seperti majlis yang berkoar-koar tentang ajaran Islam namun tidak secara komprehensif. Mempelajari Islam yang seharusnya rahmatal lil ‘alamiin (memberi rahmah untuk seluruh alam) tanpa ada pengecualian, namun malah sebaliknya. Paham radikal, adalah paham beragama yang diutamakan untuk generasi muda, mengunggulkan satu kelompok saja. Menganggap orang atau golongan lain yang tidak sependapat adalah musuhnya. Sehingga dari situ, timbulah gerakan ekstremisme, menumpas orang-orang yang mereka anggap bersebrangan.
Sangat miris, ketika agama dipromosikan untuk satu golongan saja. Sehingga dari kasus tersebut, harus dimunculkan sebuah solusi atau yang menjadi negasi dari aksi yang merugikan tersebut. Yaitu, Moderasi Beragama. Moderasi berasal dari kata moderat, yang memiliki arti lunak, cukup, seadanya, seimbang, tidak condong atau fanatik dalam satu pandangan. Sehingga dari akar kata tersebut, jika digabung dengan Beragama (agama), adalah bagaimana sikap seorang muslim, lebih tepatnya disini adalah pemuda dalam beragama selaiknya yang seimbang dan tidak neko-neko. Jika meminjam istilah dari presiden RI yang keempat, “Gitu aja kok repot.” Bukan semata-mata men-generalisasi, namun ini dapat dianalisis dengan ajaran Islam (pesan) itu sendiri, yang ramah.
Dalam surat Al-Baqarah: 286, yang berarti: “Allah tidak akan menguji hamba di luar kemampuan hamba itu sendiri.” Rujukan lain yaitu, pesan Rasulullah: “Agama itu mudah.” Oleh karena pesan Rasul tersebut, agama janganlah dipersulit. Pesan rasulullah kepada umat muslim dalam bersedekah. Ketika tidak mampu bersedekah dengan harta, maka tersenyumlah dengan orang lain (saudara). Ini dapat diartikan secara luas, yaitu tidak membebani orang lain, termasuk mengancam orang lain yang berbeda pendapat. Sehingga tidak relevan, jika menggaungkan Islam namun berbuat keji antar sesama.
Kembali kepada pokok pembahasan. Lantas apa hubungan antara pemuda (generasi millenial) dengan moderasi beragama? Dua hal tersebut berkaitan erat. Sifat dan sikap generasi millenial dengan semangat membawa perubahan, maka harus digiring dengan tepat. Juga, generasi muda memanfaatkan media yang ada. Informasi yang mudah tersebar, sikap generasi muda haruslah terbuka dengan semua informasi tersebut.
Terutama dalam menyiarkan atau mendapat keilmuan tentang beragama Islam. Sehingga dari sikap yang terbuka, luwes dan ingin merubah diri serta lingkungannya dengan baik, maka akan menekan kasus radikalismee di kalangan pemuda Islam. Ketika tag line yang ramai di media tentang pemuda hijrah, identik dengan muslim-muslimah yang alot dengan anggapannya tetang Islam.
Jika mengambil konteks Indonesia (Nusantara), penuh dengan budaya dan perbedaan—Bhinneka Tunggal Ika. Namun terdapat sebagian kelompok, yang menghendaki khilafah “Mengislamkan Nusantara”. Istilah yang masih menimbulkan propaganda, namun yang tersirat dalam makna tersebut adalah Indonesia yang penduduk muslimnya terbesar di dunia, namun tidak menerapkan Islam Kaffah.
Perlu diketahui bersama, bahwa yang menjadi utama dari semua agama (khususnya dalam tulisan ini, Islam) adalah mengajak kepada kebaikan, yang sungguh luas. Dari sikap tolong-menolong, toleransi, menghargai perbedaan adalah inti ajaran Islam. Dalam buku Muslimah yang Diperdebatkan karya Kalis Mardiasih, para ekstremis atau radikalis adalah yang lebih mengutamakan hifdz ad-din (menjaga agama) sekalipun hifdz nafs (menjaga nyawa) terancam. Bukankah hal ini bersebrangan dengan agama itu sendiri?
Oleh karena itu, para muda-mudi haruslah berpandangan dan belajar secara luas dan luwes (lunak). Semangat muda bisa dengan mengajak remaja lewat konten positif, mulai dari website, instagram, atau you tube. Arus informasi yang tidak tahu kapan ujungnya, dan di dalamnya bebas siapa yang mengakses atau yang mengisi.
Dari sini, diharapkan generasi muda yang tidak mungkin lepas dari teknologi, dapat menggunakan dengan sebaik-baiknya, terutama dalam menyiarkan agama Islam. Dari penyampai (pemuda) dikemas dengan apik, positif sesuai sasaran dan sederhana. Sehingga pandangan Islam tidak hanya memperjuangkan negara Islam, namun bagaimana hubungan antar sesama manusia (humanism) dapat berjalan dengan semestinya, tidak berlebihan, dan diterima oleh semua kalangan. Bukankah ini Islam rahmatal lil ‘alamiin? Tidak lain adalah menghendaki perdamaian antar sesama muslim, manusia umumnya. Dan, tugas membumikan moderasi beragama ini adalah menjadi kewajiban pemuda-pemudi—Pemuda Saat ini adalah Pemimpin Masa Depan.
Atssania Zahroh
Sumber: