Beberapa saat lalu, jagat dunia maya tengah heboh dengan sebuah unggahan yang menyebut kue klepon tidak islami. Salah satu makanan tradisional Indonesia itu menjadi perbincangan hangat setelah tersebarnya sebuah flyer yang dibubuhi tulisan ‘Klepon Tidak Islami’ di media sosial. Foto tersebut berasal dari unggahan salah satu warganet yang diduga sedang mempromosikan salah satu toko yang menjual “jajanan islami” seperti kurma. Namun belum diketahui, siapa sebenarnya yang membuat flyer tersebut.
Adapun pemilik asli dari foto kue klepon tersebut adalah food photographer dan food blogger, Dita W. Ichwandardi. Melalui akun twitternya, sang pemilik foto mengaku bahwa ia memotret kue kleponnya pada tahun 2008 silam.
Meski sang pengunggah flyer tidak menjelaskan tentang alasan mengapa kue klepon disebut tidak Islami, namun banyak pihak langsung merespon hingga sempat masuk dalam jajaran trending media sosial twitter. Berbagai kalangan berlomba-lomba melayangkan komentarnya mulai dari pedagang, artis, politikus, publik figur, hingga Majelis Ulama Indonesia pun nampak turut mengomentari kue klepon.
Dari hanya sebuah postingan yang belum diketahui asal-usulnya tersebut, banyak orang yang bereaksi macam-macam. Ada yang responnya biasa-biasa saja, sentimen, hanya bahan lelucon, menuding kelompok tertentu hingga berpotensi terjadi perpecahan, sebagai propaganda agama, adu domba, dianggap pengalihan isu dan beragam reaksi lainnya yang sekali lagi, flyer tersebut masih ambigu.
Namun di samping viralnya kue klepon, kita belajar bahwa informasi yang beredar di media sosial mesti di tanggapi bijak dengan nalar yang waras. Pasalnya konten yang ada di media sosial kerap kali memicu sentimen, padahal asal-usul narasi belum diketahui dan tidak bisa dipertanggung jawabkan. Kemudian, jika konten dari media sosial tidak kita cermati dengan baik, maka biasanya kesalahpahaman informasi pun terjadi, sehingga penafsirannya menjadi tidak objektif.
Apabila masyarakat sudah terpancing oleh narasi-narasi di media sosial, maka tidak menutup kemungkinan akan dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk menciptakan kegaduhan. Bahkan bisa menjatuhkan kelompok lain sehingga terjadi perpecahan di kalangan masyarakat.
Pada dasarnya, penggunaan media sosial tentunya berfungsi menyatukan banyak orang dalam satu media. Namun dikarenakan hadirnya narasi atau konten yang tendensius, sentimen, ambigu, justru malah memisahkan orang berdasarkan tafsirannya masing-masing yang satu sama lain berlawanan.
Melihat hal itu, maka perlu ada kesadaran baik dari sender (orang yang mengirimkan informasi), ataupun dari pihak yang menerima informasi, agar hadirnya media sosial benar-benar menjadi media untuk menyatukan bukan sebagai alat yang menimbulkan kesalahpahaman hingga akhirnya menimbulkan perpecahan. Artinya, dari sisi pembuat informasi, pendapat atau pesan, sebelum dikirimkan melalui media sosial, alangkah baiknya memikirkan dampak dari pesan yang kita bagikan.
Sebelum mempublikasikan pesan di media sosial, terlebih dahulu kita harus memastikan apakah informasi tersebut jelas, tidak menyinggung orang lain, terlebih apakah pesan yang dibuat sesuatu hal yang positif, inspiratif atau bermanfaat bagi orang. Atau paling tidak, pesan yang berasal dari jari kita tidak berisi ujaran kebencian (hate speech) terhadap sesuatu, sehingga meminimalisir kesalahpahaman. Perlu diingat, mengutarakan pendapat bukanlah hal yang salah, namun yang menjadi catatan adalah bagaimana pendapat atau pesan tidak berujung pada sentimen apapun.
Kemudian dari sisi penerima pesan, usai informasi masuk ke media sosial kita maka sebaiknya kritis terhadap sumber informasi atau memastikan sumber pembuat pesan apakah kredibel atau tidak. Jangan sampai informasi ditelan mentah-mentah, seperti respon beberapa orang yang menganggap bahwa viralnya kue klepon merupakan propaganda, menyinggung kelompok tertentu, dll. Di samping, belum diketahui siapa sebenarnya orang yang mengunggah flyer itu. Sebagai pengguna media sosial yang cerdas, harus benar-benar mencermati sumber isi pesan yang diterima.
Perlu diakui bahwa informasi yang di dapat dari media sosial sering kali menimbulkan kesalahpahaman dan tafsiran yang berbeda. Akan tetapi, jangan sampai perbedaan cara pandang tersebut justru disikapi dengan sumbu pendek atau respon yang berlebihan. Oleh karenanya, penggunaan yang bijak adalah modal dalam berinteraksi di media sosial.
*Siti Ressa