DUTADAMAIJABAR- Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme Jawa Barat, Yaya Sunarya mengungkapkan, gerakan terorisme dan radikalisme telah merongrong Indonesia dari masa ke masa.
“Mereka sudah melaksanakan aksinya sejak orde lama, orde baru, bahkan pada saat reformasi,” ungkap Yaya saat menjadi pemateri dalam acara Regenerasi Duta Damai Dunia Maya Jawa Barat Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia (BNPT-RI), Rabu 25 November 2020 di Haris Hotel, Kota Bandung.
Dijelaskan Yana, tidak ada strategi tunggal yang dijalankan kelompok radikal lantaran selalu beradaptasi dengan dinamika di tingkat regional, nasional dan global. Sehingga perlu adanya kesadaran kolektif semua komponen, untuk mewaspadai gerakan teror yang berawal dari intoleransi kemudian mengarah pada radikalisme, persekusi dan berujung pada terorisme.
“Era digitalisasi saat ini, narasi yang berpotensi radikan semakin marak dan masih menjadi bagian dari kehidupan sosial masyarakat. Semua narasi itu mengenai militansi yang menanamkan kebencian kepada orang lain, narasi keterancaman, dan teori konspirasi. Kemudian ada juga narasi umat yang diperlakukan tidak adil, dan intoleransi terkait sentimen keagamaan,” tuturnya.
Berdasarkan hasil riset yang diterimanya, Kata Yana, motif aksi teror itu di antaranya teknologi agama, solidaritas komunal mentalitas, balas dendam, situasional dan separatisme. Adapun yang menjadi penyebab utama tindakan terorisme yaitu, paham radikal ideologis yang terlanjur ada dalam benak yang mempercayai paham tersebut.
“Faktor lain seperti kemiskinan, kesenjangan sosial ketidak adilan, keluarga atau dendam, kemudian paham radikal pun bisa menerpa siapa saja dari berbagai kalangan, birokrat lulusan pendidikan kedinasan, hingga aparat keamanan negara juga bisa terpapar,” kata Yana.
Lebih lanjut Yana menjelaskan, sebab terjadinya Radikalisme, Terorisme dan Separatisme RTS itu bermacam-macam, seperti pemahaman agama yang dangkal, adanya cita-cita ideologi lain diluar pencasila (ekstrim kiri dan ekstrim kanan), kesenjangan ekonomi dan persaingan antar negara yang tidak menghindari Indonesia menjadi negara maju.
“Kemudian akibat dari terjadinya RTS itu akan merusak nilai-nilai toleransi, merusak nilai dan akar budaya (Bhineka Tunggal Ika), kerusakan SDM dan sumber daya lainnya dan pertumbuhan ekonomi kurang maksimal,” jelasnya.
Khusus di Jawa Barat, lanjutnya, pihanya pun melakukan upaya pencegahan radikalisme dan terorisme melalui program Jabar Masagi dan Penta helix yang juga bekerja sama dengan pengusaha, akademisi dan masyarakat, seperti ormas, LSM, komunitas, mahasiswa dan pelajar.
Tak hanya itu, pencegahan radikalisme pun bisa diupayakan dengan gerakan nasional revolusi mental yang berisikan Gerakan Indonesia Melayani, Gerakan Indonesia Bersih, Gerakan Indonesia Tertib, Gerakan Indonesia Mandiri dan Gerakan Indonesia Bersatu.
“Kemudian, peningakatan bela negara dan implementasinya dalam lingkungannya, seperti berbuat yang terbaik bagi bangsa dan negara, bekerja keras dan profesional, membantu pemerintah memberantas KKN dan melawan peredaran penyalahgunaan narkoba, serta mengokohkan nilai-nilai budaya bangsa dengan sistem religi dan nilai keagamaan, tradisi, sistem kekerabatan, nilai-nilai kemanusiaan, undak-unduk bahasa dan semangat kemasyarakatan,” tutup Yana.
*Siti Resa