Sobat Damai! Tahu kah kamu? Bulan Suro adalah sebutan untuk bulan Muharram dalam penanggalan Jawa. Seperti kita ketahui, bulan Muharram merupakan salah satu bulan yang istimewa dalam kalender Islam. Dalam budaya Indonesia, bulan ini tidak hanya dirayakan sebagai bulan pertama dalam kalender Hijriyah, tetapi juga diisi dengan berbagai tradisi dan cerita rakyat yang sarat makna di berbagai daerah Indonesia.
Ki Hadjar Dewantara pun memberikan makna tentang bulan Suro itu sendiri, “Pada bulan Suro, kita diajak untuk kembali ke akar budaya kita, menghormati tradisi, dan memahami nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh leluhur kita.”
Yuk simak! 4 cerita rakyat dan tradisi terkait bulan Muharram yang dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia.
1. Tradisi Tabuik di Pariaman, Sumatera Barat
Ayo, Ayo! Urang Minang Pasti Tau Jo Tradisi Nan Satu ko!
Salah satu tradisi yang sangat terkenal dan berkaitan dengan bulan Muharram adalah Tabuik di Pariaman, Sumatera Barat. Tabuik merupakan peringatan terhadap peristiwa Asyura, yaitu hari ke-10 di bulan Muharram yang memperingati wafatnya cucu Nabi Muhammad SAW, Husain bin Ali, di Karbala.
Pada perayaan Tabuik, masyarakat Pariaman membuat replika kuda bersayap yang disebut Tabuik. Replika ini kemudian diarak menuju laut dan dibuang sebagai simbol pelepasan kesedihan. Prosesi ini diiringi dengan berbagai kesenian tradisional, seperti musik gandang tasa dan tari-tarian.
2. Cerita Rakyat Asal Mula Sura di Jawa
Suro dudu sembarang suro, suroning ati di resikno
(Suro bukanlah sembarang Suro, tetapi hati yang harus dibersihkan)
Peribahasa ini mengajarkan pentingnya membersihkan hati dan pikiran selama bulan Suro.
Di Jawa, khususnya di Yogyakarta dan Surakarta, bulan Muharram juga dikenal dengan nama Sura. Ada cerita rakyat yang menceritakan asal mula penamaan bulan Sura.
Konon, pada zaman kerajaan Mataram, Raja Sultan Agung Hanyakrakusuma memutuskan untuk mengganti sistem kalender Hindu ke kalender Islam. Saat itu, bulan pertama dalam kalender Hindu adalah Sura. Sultan Agung kemudian menamai bulan pertama dalam kalender Islam dengan nama Sura sebagai bentuk penghormatan dan adaptasi budaya.
Tradisi malam 1 (satu) Sura juga sangat kental di Jawa. Pada malam tersebut, masyarakat melakukan tirakatan atau ritual introspeksi diri. Banyak orang yang melakukan ziarah ke makam leluhur dan menggelar berbagai macam pertunjukan seni tradisional.
3. Tradisi Suroan di Banyuwangi
Sapa sing neng keneh dheweke wis pernah nonton wayang kulit?
Di Banyuwangi, Jawa Timur, bulan Muharram dikenal dengan nama Suro, dan ada tradisi yang disebut Suroan. Tradisi ini melibatkan berbagai kegiatan keagamaan dan adat, seperti pengajian, doa bersama, dan pementasan wayang kulit.
Salah satu cerita rakyat yang sering diangkat dalam pementasan wayang kulit pada bulan Suro adalah kisah perjuangan para wali dalam menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa. Selain itu, masyarakat juga mempercayai bahwa bulan Suro adalah waktu yang baik untuk memulai sesuatu yang baru dan melakukan ritual pembersihan diri.
4. Ritual Ngumbah Keris di Keraton Surakarta dan Yogyakarta
Ana sing ana ing kene sing wis dadi wong ngrituali ngumbah keris?
Di Keraton Surakarta dan Yogyakarta, bulan Muharram atau Sura juga menjadi waktu untuk melakukan ritual Ngumbah Keris. Ngumbah Keris adalah tradisi membersihkan pusaka, seperti keris, tombak, dan pedang, yang dianggap memiliki kekuatan spiritual.
Cerita rakyat yang melatarbelakangi tradisi ini adalah keyakinan bahwa pusaka memiliki roh yang harus dihormati dan dirawat dengan baik. Ritual ini biasanya diiringi dengan doa-doa khusus dan persembahan sesaji sebagai bentuk penghormatan.
Kesimpulan
Bulan Muharram di Indonesia tidak hanya sebagai bulan dalam kalender Islam, tetapi juga merupakan bagian dari warisan budaya kaya dengan tradisi dan cerita rakyat, salah satunya adalah Bulan Suro. Melalui perayaan dan ritual yang beragam, masyarakat Indonesia menyampaikan rasa syukur, penghormatan, dan doa untuk keselamatan serta kesejahteraan bersama, mencerminkan harmoni antara nilai-nilai keagamaan dan budaya lokal.
Penulis: Jasmine Mentari Rizki