Memahami pola komunikasi sebuah masyarakat tidak akan terlepas dari latar belakang budayanya. Sebuah masyarakat memiliki sistem budaya tersendiri. Dimana budaya lahir dan berkembang seiring dengan intensitas sosial yang terjadi. Intensitas merupakan sebuah aktivitas komunikasi; sebuah interaksi sosial yang bersifat mengikat dan saling mempengaruhi satu sama lain. Adalah nilai, norma dan aturan sosial-lah yang pada akhirnya mengatur tata kelola setiap komponen masyarakat.
Interaksi yang terjadi dalam lingkungan masyarakat sangat berpengaruh terhadap proses transmisi gagasan dan identitas sosial. Dalam konteks interaksi, setiap komponen masyarakat saling terikat, saling memengaruhi, saling menghargai dan saling menjaga. Pada posisi ini, komunikasi sebagai bagian dari interaksi sosial memiliki fungsi penting dalam menjelaskan kedudukan sekaligus mewariskan nilai dan norma sosial yang berkembang untuk mengatur kehidupannya. Adalah nilai dan norma sosial-lah yang membedakan antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Hal inilah yang kita sebut sebagai realitas sosial. Realitas sosial merupakan sumber referensial, berisi perbendaharaan budaya yang bersifat dinamik sebagai jantung masyarakat. Referensi adalah hasil reproduksi budaya yang dibangun dari akumulasi aktivitas interaksional dan transaksional sehari-hari. Referensi adalah kamus yang menjadi sumber acuan untuk memberi makna di balik simbol-simbol budaya dalam sebuah masyarakat (Purwasito, 2003).
Realitas sosial menampilkan simbol-simbol komunikasi yang harus dimaknai oleh seorang individu ketika berada dalam sebuah komunitas sosial. Emile Durkheim memandang bahwa faktor budaya akan memengaruhi aktivitas manusia. Faktor budaya terdiri dari nilai dan norma sosial akan membatasi cara berkomunikasi seseorang sekaligus memberikan gambaran tentang pola komunikasi masyarakat tempat budaya tersebut lahir dan berkembang. Sementara itu, Max Weber mengungkapkan bahwa selain faktor budaya, yang turut serta mempengaruhi pola komunikasi sebuah masyarakat adalah struktur sosial. Struktur sosial ini baik itu faktor emosional dan moral, adat kebiasaan, pengaturan administrasi, penggunaan instrument budaya, penerapan hukum dan pengaturan. Keduanya, baik faktor budaya maupun struktur sosial menghasilka sistem tanda yang memberikan makna. Sehingga dapat dijadikan sebagai referensi pola komunikasi dalam sebuah masyarakat.
Komunikasi Budaya, Moderasi Beragama dan Imunitas di Tengah Pandemi
Sistem makna sebagai referensi pola komunikasi dalam sebuah masyarakat dibangun untuk membatasi, mengatur dan menjaga pola komunikasi manusia dalam sebuah komunitas sosial. sistem makna ini dilahirkan dari budaya sebagai simbol yang harus dimaknai dan termaknai. Bagaimana seorang individu mengatur dirinya, membatasi tingkah lakunya dan menjaga identitas sosialnya sebagai falsafah hidup dimana individu tersebut berada. Pada posisi ini, individu menginterpretasikan simbol budaya sebagai referen yang teridentifikasi kedalam dirinya. James Spradley (1997) mendefinisikan kebudayaan sebagai sebuah pengetahuan yang diperoleh dan digunakan orang untuk menginterpretasikan pengalaman dan melahirkan tingkah laku sosial.
Dalam konteks komunikasi budaya, pandemi global covid-19 mempercepat digitalisasi kebudayaan masyarakat Indonesia. Teknologi digital menjadi sarana familiar yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk melangsungkan berbagai aktivitas kehidupannya. Digitalisasi ini mempengaruhi cara pandang dan tingkah laku manusia. Hal-hal yang tidak diperhitungkan sebelumnya, muncul dan merebak menjadi sebuah kebiasaan baru masyarakat Indonesia. Misalnya, telekonferensi digital, learning from home, work from home, atau aktivitas lainnya yang dilaksanakan dalam jaringan (online). Pada praktiknya, pemanfaatan teknologi digital bukan sebatas untuk aktivitas positif saja, melainkan juga memungkinkan dimanfaatkan sebagai sarana untuk menyebar konten-konten dengan tendensi negatif. Fenomena penyebarluasan pesan-pesan hoaks dan hatespeech yang bersifat manipulatif dan provokatif tidak berkurang di masa-masa krisis pandemi. Bahkan, pesan-pesan provokatif ini juga berkaitan dengan upaya memutus mata rantai penyebaran covid-19.
Merujuk pada https://aptika.kominfo.go.id sampai bulan Mei 2020 tercatat 1.401 konten hoaks dan disinformasi Covid-19 beredar di masyarakat. Penyebaran pesan-pesan hoaks ini menunjukkan bagaimana pemanfaatan teknologi digital rentan digunakan untuk tujuan-tujuan dengan tendensi negatif. Pesan-pesan ini sebagian besar tersebar pada platform media sosial seperti facebook, Instagram dan twitter. Disinformasi selama masa pandemi covid-19 dapat menjadi ancaman bagi kelangsungan kehidupan masyarakat dan kebangsaan. Anomali informasi yang diterima masyarakat akan berdampak pada kondisi psikis. Rasa bosan, frustasi dan kepanikan sosial menjadi celah terwujudnya public distrust bahkan public disobedience. Dalam kerangka sosiologis, disinformasi yang mengarah pada tekanan psikis dan pembangkangan publik pada skala tertentu dapat mengancam keutuhan bangsa (disintegrasi). Maka pada kondisi inilah, pentingnya menguatkan ikatan budaya dan moderasi beragama sebagai vaksin yang mampu meredam berbagai potensi yang dapat mengancam keutuhan masyarakat.
Culture bounded dalam perpektif komunikasi budaya dibangun di atas fondasi nilai, kepercayaan dan bahasa. Nilai merupakan suatu konsep abstrak yang dimaknai oleh individu dalam sebuah masyarakat yang melahirkan konsep benar-salah, baik-buruk, dan patut-tidak patut. Kepercayaan dipahami sebagai sebuah konsep yang dimiliki individu dalam melihat sekelilingnya, baik yang berupa area fisik maupun metafisik, arena yang bersifat natural maupun supranatural. Sementara itu, bahasa meruapakan tempat budaya berada, di dalamnya terdapat sistem kodifikasi budaya sebagai pesan atau simbol baik berupa verbal maupun non-verbal.
Tiga fondasi komunikasi budaya ini sangat mempengaruhi seorang individu daam mempersepsikan realitas di sekitarnya. Persepsi tersebut sangat tergantung pada ikatan budaya (culture Bounded), yakni cara bagaimana seseorang memaknai pesan, objek atau lingkungannya sangat tergantung pada sistem nilai yang dianutnya. Disinformasi dan gejala pembangkangan publik dapat diminimalisir melalui pendekatan komunikasi budaya yang saling menguatkan dan berorientasi pada kebersamaan. Culture bounded dan moderasi beragama adalah bagian dari cara untuk menguatkan imunitas di tengah pandemi. Budaya mengikat perbedaan sebagai simbol kebudayaan yang menggembirakan, sementara moderasi beragama menguatkan keyakinan kita untuk menarasikan pesan-pesan kasih sayang (rahmah) dan perdamaian.
*Ridwan Rustandi
[/et_pb_text][/et_pb_column] [/et_pb_row] [/et_pb_section]