free page hit counter
Blogging Should Be Fun !

‘The New Normal’: Telekonferensi Islam di Masa Pandemi

Pergeseran masyarakat dari era tradisional ke modern, salah satunya ditandai dengan hadirnya perangkat teknologis canggih. Perangkat ini dinilai membawa perubahan dan memberikan kemudahan dalam aktivitas manusia. Futurolog Alvin Tofler (1980) mendefinisikan peralihan ini sebagai ‘era informasi’ yang memunculkan ‘masyarakat informasi’. Kemunculan era dan masyarakat informasi ini sekaligus menandai gelombang baru dalam masyarakat industri. Dalam pandangannya, gelombang kehidupan ini disebut dengan istilah gelombang ketiga.

Lebih lanjut, Alvin menyatakan bahwa transisi masyarakat pada gelombang ketiga ini mensyaratkan adanya peralihan dari masyrakat agraris menuju masyarakat industri. Hal ini menunjukkan adanya cara hidup baru dalam keberlangsungan kehidupan masyarakat. Yakni, cara hidup yang berdampingan dengan kemajuan ilmu dan teknologi modern, sehingga memungkinkan masyarakat mengakses informasi pada ruang-ruang yang tidak terbatas.

Kemunculan gelombang ketiga ini sering kali diasosiasikan dengan kemunculan teknologi digital internet. Sebagai sebuah media baru, internet membuka peluang kebebasan dan persamaan dalam praktik sosial. Kebebasan ini didapat dalam bentuk akses informasi, kebebasan berkreasi dan berekspresi serta memilih arus informasi yang dikehendaki. Sementara, persamaan didapatkan melalui saluran informasi yang dimiliki secara privat dan dapat dipergunakan untuk kepentingan apapun.

Sementara itu, pada lain pihak, kebebasan dan persamaan yang didapat oleh masyarakat informasi dikhawatirkan mengancam tatanan sosial yang selama ini menjadi pakem dalam aturan sosial. Francis Fukuyama (1999) mengistilahkan dengan ‘the great distruption’, sebuah kekacauan besar apabila manusia tidak lagi mengindahkan nilai dan norma sosial yang selama ini menjadi pagar pembatas antar individu.

Dalam konteks dakwah Islam, era masyarakat informasi yang ditandai dengan kemunculan internet, secara positif membuka peluang koneksi nilai-nilai perdamaian dengan cara baru. Islam hadir di ruang-ruang digital yang mampu menjangkau berbagai lapisan dan disampaikan dengan cara yang variatif dan kreatif. Tentunya, teknologi internet berpotensi menjadi saluran alternatif dalam transmisi pesan kedamaian dalam Islam tanpa dibatasi ruang fisik geografis. Pada masa-masa kritis seperti pandemi covid-19, kebijakan pembatasan berkerumun di ruang nyata tidak berlaku di ruang maya. Pesan-pesan keislaman masih bisa menghiasi dinding-dinding kamar umat Islam, salah satunya melalui aplikasi telekonferensi digital. 

Cara Baru Tranmisi Pesan Keislaman

Kebijakan social dan physical distancing, work from home dan PSSB di masa pandemi mensyaratkan tidak adanya kerumunan dan keramaian manusia dalam upaya memutus mata rantai covid-19. Penerapan kebijakan ini aktif dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah, terutama sejak menjelang bulan ramadhan. Hal ini menjadi wajar, sebab pada momentum bulan ramadhan tradisi masyarakat Indonesia senantiasa dihiasi dengan kebersamaan, keramaian dan kebahagiaan mengisi bulan suci ramadhan dengan berbagai aktivitas publik. Apakah sekedar buka bersama, menjajakan takjil (pedagang musiman), berbagi kebaikan dengan kaum dhuafa, keramaian di pusat perbelanjaan dan jajanan, atau diisi dengan kajian-kajian keagamaan.

Di lain pihak, kebiasaan masyarakat Indonesia di bulan ramadhan harus dihentikan mengingat masa penyebaran penyakit pandemi covid-19 yang dapat dengan mudah menular di pusat-pusat keramaian. Hal ini berlaku dalam berbagai aktivitas publik, termasuk keharusan merumahkan aktivitas keagamaan yang biasanya ramai dilakukan pada momentum ramadhan. Namun demikian, selalu ada cara untuk terus menarasikan pesan-pesan keislaman di tengah pembatas sosial ini. Umat Islam di Indonesia telah berhasil memanfaatkan teknologi digital sebagai ruang berbagi informasi seputar keislaman. Hal ini dapat kita lihat dari ramainya jagatmaya diisi oleh kajian-kajian online di seluruh pelosok nusantara.

Tampaknya, istilah ‘the new normal’ yang digagas oleh Roger McNamee (2003) untuk menggambarkan kebiasaan baru pasca dentuman peristiwa yang memaksa masyarakat untuk terbiasa dan menyebabkan perubahan dalam jangka waktu panjang.  Di Masa Pandemi ini, ‘the new normal’ tidak hanya terjadi dalam gaya hidup seperti memakai masker, mencuci tangan, menggunakan hand sanitizer, dan lain sebagainya. Termasuk juga berlaku dalam aktivitas publik lainnya, seperti digitalisasi kebudayaan dalam bentuk pertemuan-pertemuan digital untuk kepentingan bisnis, perusahaan, pemerintahan, bahkan yang berkaitan dengan transmisi pesan-pesan keagamaan.

Penggunaan aplikasi telekonferensi seperti google meet, zoom, jitsi meet, skype, video call whatapps, messenger, serta media sosial seperti aplikasi live Instagram, live facebook, live youtube, untuk kegiatan keagamaan menunjukkan adanya cara baru bagi umat Islam di Indonesia dalam mensyiarkan Islam. Jagatmaya diramaikan dengan semarak ramadhan yang bergeser dari aktivitas publik di ruang nyata ke dalam komunitas virtual keagamaan. Dalam hal ini, masyarakat muslim di Indonesia tetap membangun relasi sosial walaupun secara virtual dalam proses transmisi dan internalisasi ajaran Islam. Inilah ‘the new normal’ bagi masyarakat muslim di Indonesia dalam aktivitas keagamaan di ruang publik.

*Ridwan Rustandi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

RECENT POSTS
ADVERTISEMENT
Our gallery